Latar Belakang
Dalam sejarah kepemimpinan dunia, semua dari mereka yang berada pada kontestasi politik tentu saja menjanjikan perubahan. Namun, tidak banyak pemimpin yang menjanjikan perubahan besar seperti yang dilakukan oleh Donald Trump. Dalam perjalanan karir politiknya, Trump menyatakan bahwa NATO sudah usang, aliansi Amerika dengan Jepang dan Korea Selatan sudah tidak layak untuk dilanjutkan serta perjanjian perdagangan bebas merupakan suatu bencana yang hanya menyebabkan Amerika Serikat hancur secara perlahan. Dalam menanggapi hal tersebut, ia mengusulkan perspektif transaksional atau dikenal sebagai zero-sum game. Perspektif tersebut menyatakan bahwa keuntungan negara atau aktor internasional lain yang terlibat akan diidentifikasi sebagai kerugian bagi Amerika Serikat. Solusi yang ditawarkan oleh Trump disampaikan melalui slogan America First yakni mengurus negara ini terlebih dahulu sebelum kita khawatir tentang orang lain di dunia.
Menanggapi hal tersebut, Trump melakukan beberapa langkah-langkah dalam kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang cenderung kontroversial. Buktinya antara lain seperti penarikan Amerika dari serangkaian perjanjian multilateral, termasuk Paris Climate Accords (Pakta Iklim Paris) tentang perubahan iklim, Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Selain itu langkah kontroversial lainnya yang pernah dilakukan Trump adalah Kebijakan Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into The United States, yang merupakan suatu kebijakan untuk menutup pintu masuk ke Amerika Serikat bagi orang-orang dari Timur Tengah . Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Donald Trump tersebut secara sepihak memang meningkatkan perekonomian Amerika Serikat secara signifikan, berbeda dengan kebijakan pendahulunya. Akan tetapi, di sisi lain Amerika Serikat menjadi terisolasi dari hubungan multilateral yang sudah susah payah dipertahankan oleh presiden pendahulunya. Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba untuk membahas mengenai keterkaitan antara karakteristik personal Donald Trump dengan kebijakan yang diputuskan. Melalui tulisan ini penulis akan membahas bagaimana pengaruh idiosinkratik Donald Trump terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa kepemimpinannya.
Penelitian Terdahulu
Untuk mendukung terlaksananya penelitian ini dengan arah yang benar, penulis mencantumkan bahan pendukung dalam penelitian ini yakni hasil penelitian terdahulu yang telah dilaksanakan guna membandingkan atau memperlihatkan persamaan serta perbedaan dari penelitian terdahulu serta penelitian setelahnya. Hal tersebut di bedakan berdasarkan objek yang diteliti, metode penelitian, atau teori serta konsep yang digunakan. Penelitian-penelitian yang dijadikan bahan acuan oleh penulis diantaranya:
Tabel 1
No | Nama/Tahun Penelitian | Sumber Penelitian | Judul Penelitian | Metode Penelitian | Hasil Penelitian |
1. | Michael Clarke (2017) | Comparative Strategy, Vol. 36, No. 4, 2017 p. 366-379 | Donald Trump and American foreign policy: The return of the Jacksonian tradition | Kualitatif | Upaya Trump dalam mengembalikan image Amerika Serikat dipengaruhi oleh asas unilateralism dari Jacksonian |
2. | David Schultz (2019) | Lithuanian Annual Strategic Review, Volume 17, 2019, ISSN 2335-870X | American Foreign Policy in the Age of Donald Trump | Kualitatif | Kebijakan luar negeri Trump memiliki karakteristik nasionalis, bilateral, dan isolasionis |
3. | Ilham Fadil (2020) | Journal of International Relations, Vol. 6, No. 2, 2020, hal 257-266 | Analisis Karakteristik Personal Donald Trump Dalam Kebijakan Protecting The Nation From Foreign Terrorist Entry Into The United States | Kualitatif | Donald Trump merupakan aggressive leader berjiwa nasionalis tinggi |
Penelitian yang dilaksanakan oleh Michael Clarke terfokus pada analisis pengaruh tradisi Jacksonian dalam pemerintah Amerika Serikat terhadap kebijakan luar negerinya sedangkan penelitian yang penulis lakukan adalah untuk mengetahui pengaruh idiosinkratik Donald Trump terhadap arah kebijakan luar negeri Amerika Serika. Dilain sisi, penelitian yang dilaksanakan oleh David Schultz yang berjudul American Foreign Policy in the Age of Donald Trump terfokus pada proses untuk menemukan karakteristik dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat di masa kepemimpinan Donald Trump sedangkan penelitian terakhir oleh Ilham Fadil terfokus pada analisis karakteristik personal Donald Trump dalam Kebijakan Protecting The Nation From Foreign Terrorist Entry Into The United States
Kerangka Pemikiran
Untuk membahas permasalahan yang telah penulis jabarkan sebelumnya, penulis menggunakan teori idiosinkratik yang didasarkan pada jurnal Margaret Hermann (1980) yang berjudul Explaining Foreign Policy Behaviour Using the Personal Characteristic of Political Leaders untuk menjelaskan hal tersebut.[1] Teori ini terfokus pada individu yang berperan sebagai pembuat kebijakan dalam proses pembuatannya. Dalam pembuatannya, kebijakan luar negeri yang diimplementasikan oleh suatu negara berkaitan dengan ciri khas personal yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin politik yang memiliki pengaruh besar. Pemerintah dapat dipengaruhi oleh pemimpin politik menuju ke arah agresif atau hubungan yang dami dengan negara lain. Motivasi individual dalam lingkungan politik dapat dikaitkan dengan implementasi kebijakan di sekitarnya. Dalam mengambil keputusannya, suatu individu dapat dipandang melalui kepribadiannya yakni, pola pemrosesan informasi dalam kelompok keputusan mereka, gaya kepemimpinan politiknya, serta pemanfaatan penasihat yang dimiliki.
Hipotesis
Selama masa kepemimpinan Donald Trump sebagai pemimpin Amerika Serikat, terdapat berbagai perubahan yang dilakukan olehnya terutama dalam hal kebijakan luar negeri. Perubahan-perubahan tersebut meliputi berbagai hal terutama Amerika Serikat yang menjadi terisolir dari kerjasama multilateral. Penulis berasumsi bahwa dalam proses decision making yang terjadi, banyak hal yang dipengaruhi oleh idiosinkratik yang dimiliki oleh Trump.
Alur Pemikiran
Berdasarkan kerangka konseptual yang penulis gunakan, berikut merupakan bagan yang menjelaskan mengenai proses terjadinya perubahan kebijakan luar negeri suatu negara yang dipengaruhi oleh pandangan pemimpin politik tadi.
Bagan 1
Bagan tersebut menjelaskan tentang proses analisis idiosinkratik seorang pemimpin terhadap pembuatan kebijakan luar negeri, terdapat tiga penilaian yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut yakni: personality assesment (penilaian kepribadian), trait analysis (analisis bawaan), dan cognitive analysis (analisis pengetahuan). Ketiga penilaian tersebut mengarah pada terbentuknya leadership style (gaya kepemimpinan), political personality profile (latar belakang kepribadian politik), serta decision making style (gaya pembuatan kebijakan). Pada bagian ‘penilaian kepribadian’ tadi, terdapat political personality profile yang dikembangkan untuk memberikan gambaran psikologis secara utuh mengenai pembuat kebijakan. Dalam bagian tersebut, tidak hanya digambarkan proses terbentuknya sikap yang dimiliki hanya melalui perjalanan hidupnya saja akan tetapi juga berada pada proses ditentukannya aspek-aspek tertentu dari perilaku kepemimpinan yang relevan dengan pembuatan kebijakan. Dalam bagian political personality profile, terdapat empat tipe yang berada didalamnya yakni: narcissist, ego-defense, paranoid, serta obsessive-compulsive. Selanjutnya, trait analysis meliputi leadership style yang digunakan dalam mengamankan posisi politik serta untuk dapat berhubungan dengan relasi-relasi yang mereka miliki. Pendekatan cognitive analysis, merupakan analisis yang bersifat abu-abu karena bersifat internal sehingga tidak dapat dipelajari secara teliti. Pada bagian ini, terdapat decision making style atau gaya pembuatan kebijakan oleh pemimpin politik. Untuk menganalisis decision making style, terdapat dua karakteristik yakni problem characteristic dan situasional characteristic.[2]
____________
Latar Belakang Kehidupan Donald Trump
Donald John Trump lahir pada 14 Juni 1946, di Queens, New York. Dia merupakan anak bungsu kedua dari lima bersaudara, ia bersekolah di sekolah swasta di Queens sebelum kemudian mendaftar di Akademi Militer New York untuk kelas delapan hingga SMA. Setelah itu, Trump belajar selama dua tahun di Universitas Fordham New York City kemudian dipindahkan ke Sekolah Keuangan dan Perdagangan Wharton University of Pennsylvania, di mana ia meraih gelar sarjana pada tahun 1968. Selama Perang Vietnam, ia menerima empat penangguhan mahasiswa dan satu penangguhan medis dan tidak dimasukkan ke dalam pendaftaran untuk dinas militer.[1]
Setelah kuliah, Trump bergabung dengan perusahaan ayahnya, E. Trump & Son, perusahaan yang mengembangkan apartemen untuk kelas menengah di wilayah luar New York City. Dia menjadi presiden perusahaan pada tahun 1974 dan kemudian membangun nama untuk dirinya sendiri di dunia real estate Manhattan dengan pembangunan proyek-proyek profil tinggi seperti hotel Grand Hyatt New York, yang dibuka pada tahun 1980, dan Trump Tower, sebuah gedung tinggi mewah yang dibuka pada tahun 1983. Juga pada tahun 1980-an, Trump membuka kasino hotel di Atlantic City, New Jersey dan kemudian mengakuisisi Plaza Hotel yang bertingkat di Manhattan serta membeli perkebunan Mar-a-Lago di Palm Beach, Florida, yang ia renovasi dan berubah menjadi klub pribadi. Di antara usaha lain, ia dalam waktu singkat berhasil memiliki maskapai penerbangan dan klub sepak bola profesional di National Footbal League (Liga Sepak Bola Amerika Serikat) yang kemudian tidak berumur panjang. Pada tahun 1987, The Art of the Deal,”buku memoar dan nasihat bisnis Trump diterbitkan serta kemudian menjadi best-seller. Pada tahun 1989, majalah Forbes menyatakan bahwa kekayaan bersihnya adalah $ 1,5 miliar, dan ia tampil di sampul majalah Time. Namun, pada awal 1990-an, menyusul kemerosotan ekonomi dan merosotnya pasar real estate, Trump sangat terlilit utang dan beberapa kasinonya mengajukan kebangkrutan. Pada tahun 1995, ia melaporkan kerugian hampir $ 1 miliar pada pajaknya. Trump akhirnya melakukan comeback keuangan, sebagian dengan model bisnis yang melibatkan lisensi namanya untuk berbagai macam usaha mulai dari kondominium hingga steak dan dasi.
Kesuksesan karirnya di bidang real estate kemudian merambah hingga ke ranah dunia hiburan. Pada tahun 2004, Trump mulai menjadi pembawa acara reality show, “The Apprentice,” di mana para kontestan bersaing untuk pekerjaan manajemen di salah satu perusahaannya. Acara ini menampilkan slogan Trump “You’re fired” dan mendapatkan rating penyiaran tinggi. Pebisnis ini kemudian pada akhirnya berhasil meraup $ 1 juta per episode dan menjadi semakin terkenal melalui acara tersebut. Dia kemudian menjadi pembawa acara 14 musim gabungan dari “The Apprentice” dan pertunjukan spinoff, “The Celebrity Apprentice.” Selain membintangi “The Apprentice” dan membuat penampilan cameo di acara TV dan film lain seperti “Home Alone 2: Lost in New York,” Trump juga pernah menyelenggarakan beberapa kontes kecantikan dari 1996 hingga 2015, termasuk di dalamnya adalah Miss Universe dan Miss USA. [2]
Karir Trump di dunia perpolitikan dimulai pada tahun 1987 setelah tergabung sebagai seorang Republik, pernah berganti menjadi seorang yang Independen tanpai partai pada tahun 1989 dan kemudian berganti menjadi Demokrat pada tahun 2001.[3] Pada tahun 2009 dia kembali tergabung ke dalam partai Republik dan hingga sekarang belum pernah berganti. Sebelum memenangkan kepresidenan AS, Trump tidak pernah memegang jabatan pemerintahan baik secara terpilih maupun ditunjuk. Dia telah mempertimbangkan tawaran presiden pada beberapa kesempatan sebelumnya sebelum pemilu 2016 tetapi akhirnya memilih untuk tidak melakukannya. Hingga akhirnya pada Juni 2015, pengembang real estate ini kemudian mengumumkan pencalonan presidennya dalam pidatonya di Menara Trump. Dia menjalankan kampanyenya dengan slogan “Make America Great Again“.
Trump mencalonkan diri melawan Hillary Clinton dari partai Demokrat, kandidat presiden perempuan pertama dari partai politik besar. Ketika hari pemilihan mulai mendekat, hampir semua jajak pendapat nasional memprediksi kemenangan bagi calon partai Demokrat. Namun, pada 8 November 2016, Trump dan pasangan wakil presidennya, Gubernur Mike Pence dari Indiana, berhasil mengalahkan Clinton dan pasangannya, Senator Tim Kaine dari Virginia. Trump memenangkan suara di beberapa negara-negara bagian yang penting termasuk Florida dan Ohio, dan kemudian mengumpulkan 306 suara pemilih mengalahkan 232 suara saingannya.[4]
Arah Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Masa Kepemimpinan Trump
Dalam pidato kebijakan luar negeri pertamanya Trump menyatakan bahwa: “Kebijakan luar negeri saya akan selalu menempatkan kepentingan rakyat Amerika dan keamanan Amerika di atas segalanya.” Pertama, ia melihat bahwa militer AS melemah oleh ekonomi AS yang lemah. Oleh ekonomi yang lemah ia mengidentifikasi defisit perdagangan dengan dunia dan negara-negara tertentu. Dia ingin mengurangi dan membalikkan defisit tersebut. Kedua, ia berpendapat bahwa sekutu AS tidak membayar bagian yang adil dalam aliansi militer. Dia secara khusus menunjuk ke negara-negara NATO dimana hanya empat dari dua puluh delapan negara yang menghabiskan setidaknya dua persen dari PDB mereka untuk pertahanan. Dia ingin membalikkan beban yang tidak adil ini pada AS. Akhirnya, ia berpendapat AS tidak lagi memiliki kejelasan dalam hal tujuan kebijakan luar negerinya sejak Perang Dingin berakhir. Ketidakjelasan ini mengharuskan AS untuk mengembangkan rencana dalam rangka “mengembangkan kebijakan luar negeri berdasarkan kepentingan Amerika.” Hal tersebut didasarkan pada slogannya yakni ”Make America Great Again” dan “America First”.
Menanggapi hal tersebut, dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden, Trump menerapkan beberapa kebijakan luar negeri seperti pembangunan tembok di perbatasan Meksiko, larangan perjalanan untuk beberapa negara mayoritas Muslim, penarikan Amerika Serikat dari Pakta Iklim Paris, serta menarik diri dari Kemitraan Trans-Pasifik.[5] Trump lebih suka kesepakatan bilateral, di mana Amerika Serikat biasanya adalah mitra yang lebih kuat, sedangkan pada perjanjian multilateral kekuasaannya diimbangi oleh banyak negara lain.[6] Pandangan Trump yang terfokus pada peningkatan ekonomi Amerika Serikat terlihat dari upayanya melakukan fair trade dengan cara mengutamakan kerjasama bilateral. Dia juga beranggapan bahwa kerjasama Amerika Serikat dengan Korea Selatan selama ini sama sekali tidak menguntungkan mereka, padahal jika dilihat secara rasional kerjasama tersebut seimbang karena AS dapat membangun basis militer disana dengan leluasa akan tetapi Trump cenderung menolak gagasan tersebut.[7] Fokus Trump sama sekali tidak menggunakan soft power dalam hal memajukan kepentingan AS. Dia juga lebih terbuka dalam menyuarakan pendapatnya kepada pemimpin dunia lainnya, hal tersebut kita lihat melalui peristiwa War of Words dengan Korea Utara yakni ketika dia dengan Kim Jong Un mengancam satu sama lain untuk meluncurkan rudal balistik ke negara mereka.[8] Trump juga tidak tertarik untuk memajukan hak asasi manusia dan demokrasi, hal tersebut tercermin dari kebijakannya yang kontroversial yakni Kebijakan Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into The United States yang melarang beberapa negara Timur Tengah untuk mengakses Amerika Serikat karena takut dengan potensi ancaman teroris yang dimiliki oleh negara-negara tersebut.
Metode revolusionernya dalam menangani masalah kebijakan luar negeri adalah kejutan politik terhadap sistem yang berdiri sangat kontras dengan pendekatan para pendahulunya, yang lebih memilih untuk tidak menyimpang dari jalur tradisional.[9]
Analisis Idiosinkrasi Donald Trump
Idiosinkratik Donald Trump mengacu pada karakteristik individu yang dimiliki oleh seorang pemimpin ketika merumuskan suatu kebijakan. Dalam hal ini, peneliti menganalisis mengenai idiosinkratik Trump yang dilihat dari kepribadian politik, gaya kepemimpinan, dan gaya pembuatan keputusannya. Kepribadian politik adalah gambaran psikologis secara menyeluruh dari individual pembuat keputusan. Berdasarkan empat tipe kepribadian yang terdiri dari ego-defense, narcissist, obsessive compulsive, dan paranoid personality, Trump termasuk ke dalam tipe kepribadian yang kedua yakni tipe kepribadian narcissist atau narsisis yang merupakan individu dengan tingkat kepercayaan terhadap diri sendiri sangat tinggi. Tipe kepribadian ini sesuai dengan kepribadian Trump yang berambisi tinggi dalam merombak kebijakan luar negeri Indonesia serta rasa percaya diri yang tinggi. Hal tersebut dapat kita lihat dari tindakannya yang langsung mengimplementasikan kebijakan luar negeri berdasarkan perspektifnya tanpa mengikuti haluan terdahulu, segera setelah ia menjabat sebagai presiden. Trump juga dengan percaya diri menyatakan bahwa ekonomi AS akan meningkat sangat pesat bahkan setelah di berhenti menjabat di kuartal selanjutnya, sikap ini mencerminkan sisinya yang narsisis.[10]
Analisis kedua tentang idiosinkratik Trump terletak pada gaya kepemimpinannya (leadership style). Berdasarkan tujuh dimensi kepribadian yang ada, yakni: keyakinan seseorang dapat memberikan pengaruh atau mengontrol apa yang terjadi, pengaruh yang dimiliki serta kebutuhannya akan kekuasaan, kepercayaan diri, kompleksitas konseptual, kecenderungan untuk fokus dalam pemecahan masalah dan mencapai sesuatu yang berkaitan dengan ide serta kepekaan terhadap individu lain, ketidakpercayaan umum atau kecurigaan terhadap individu lain, dan intensitas dimana seseorang memegang bias kendali dalam kelompok. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa gaya kepribadian pemimpin yang dimiliki Trump adalah Crusader Expansionist. Gaya kepemimpinan crusader expansionist merupakan tipe seorang individu yang tidak ingin kehilangan kendali yang dimiliki. Berkeinginan untuk memiliki kendali yang besar (high need for power), memiliki kemampuan yang rendah adanya beberapa alternatif pilihan dalam pembuatan keputusan (low conceptual complexity), punya rasa nasionalisme yang tinggi pada negaranya (high nationalism), serta tidak mementingkan arti hubungan pertemanan (low need for affiliation). [11]Gaya kepemimpinan Trump terlihat ketika Trump melakukan perombakan secara menyeluruh terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat tanpa mengikuti tindakan yang dilakukan oleh pendahulunya. Tindakan tersebut diperjelas dengan Trump yang merasa bahwa AS tidak membutuhkan relasi yang tidak menguntungkan bagi mereka berbeda dengan presiden terdahulu yang selalu menjaga relasi antarnegara terutama di dalam kerjasama multilateral. Rasa nasionalisme Trump yang tinggi juga terbukti dari motivasinya untuk meningkatkan perekonomian AS secara signifikan di tahun pertama penugasannya.
Analisis idiosinkratik selanjutnya adalah decision making style atau gaya pembuat keputusan. Kepribadian politik Trump yang narsisis dengan gaya kepemimpinan crusader expansionist berpengaruh terhadap gaya pembuat keputusan Trump. Terdapat dua karakteristik dalam gaya pembuat keputusan, yaitu situational characteristic dan problem characteristic. Berdasarkan kedua karakteristik gaya pembuat keputusan tersebut, Trump termasuk ke dalam gaya pembuat keputusan situational characteristic. Dalam hal ini, lingkungan berpengaruh terhadap individu. Gaya pembuat keputusan situational characteristic Trump didasarkan pada faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya, informasi dan konsekuensi perilaku diproses oleh individu yang pada gilirannya mempengaruhi respon terhadap kondisi lingkungan tersebut. Hal ini kemudian relevan dengan adanya persepsi ancaman, tekanan, hingga keinginan Trump untuk memproyeksikan gambaran tertentu, sifat dan opini yang dirasakan dalam menganalisis situasi. Seperti halnya kondisi Amerika Serikat yang tidak mengalami perkembangan signifikan yang dipengaruhi oleh kelembaman kebijakan luar negerinya selama beberapa dekade terakhir sebelum Trump menjabat.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa dengan kepercayaan dirinya yang tinggi Trump berencana untuk membawa Amerika Serikat menuju ke era berjayanya AS sebagai negara adidaya tanpa bergantung pada kerjasama multilateral. Sudut pandangnya sebagai seorang pebisnis real estate juga sangat berpengaruh dalam proses perumusan keputusan. Hal tersebut sempat penulis sebutkan tadi tentang ketimpangan pertukaran antara kerjasama AS dengan Korea Selatan yang hanya Trump lihat dari sisi ekonomi. Terutama, kebijakan Amerika Serikat yang lebih terfokus kepada peningkatan ekonomi sebagai solusi terhadap lemahnya angkatan militer. Cara pandang Trump terhadap sisi ekonomi negara Amerika Serikat mematahkan tradisi-tradisi pemimpin terdahulu. Trump merasa bahwa AS yang pada dasarnya merupakan negara adidaya tidak butuh untuk bermain lebih lanjut dalam kerjasama multilateral untuk segera mencapai tujuan yang diinginkan.
Kesimpulan
Donald Trump merupakan pemimpin dengan karakteristik narsistic dan crusader expansionist. Hal tersebut ditunjukan oleh sikap, penilaian, dan perilakunya dalam mengimplementasikan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan fokus kepada ekonomi untuk menyokong pendanaan pertahanan nasional AS. Kepribadian narsisisnya terlihat dari kepercayaannya yang tinggi terhadap kemampuannya dalam mendorong perekonomian dari Amerika Serikat tanpa bergantung pada kerjasama multilateral. Kebutuhan atas kekuatannya yang tinggi terlihat pada dominasi terkait dengan kerjasama internasional. Trump sangat percaya pada kekuatan AS pada skema kebijakan bilateral karena AS akan mendapatkan pertukaran yang setara dengan dominasi atas kerjasama dengan kekuatan yang dimiliki, berbeda dengan kerjasama multilateral yang mengkerdilkan posisi AS dalam prosesnya. Donald Trump juga tanpa keraguan, berani melakukan kecaman secara terbuka dengan sikap permusuhan terhadap mereka yang memiliki kedudukan atau kekuasaan yang mencoba menghalangi jalannya, seperti kasus War of Word dengan Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara. Pada akhirnya, sudut pandang Trump sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai seorang pengusaha real estate dalam merumuskan kebijakan terutama berkaitan dengan ekonomi.
Referensi
[1] “Donald Trump: Presidency, Family, Education – HISTORY”, Inside History, November 18, 2016, https://www.history.com/topics/us-presidents/donald-trump
[2] Ibid
[3] “Donald Trump, Impeachment, Presidency, & Education – Biography”, Biography.com, April 16, 2018, https://www.biography.com/us-president/donald-trump
[4] “Donald Trump: Presidency, Family, Education – HISTORY”, Inside History, November 18, 2016, https://www.history.com/topics/us-presidents/donald-trump
[5] Ibid
[6] Klaus W. Larres, “Trump’s foreign policy is still ‘America First’ – what does that mean, exactly?”, The Conversation, August 27, 2020, https://theconversation.com/trumps-foreign-policy-is-still-america-first-what-does-that-mean-exactly-144841
[7] David Schultz, “American Foreign Policy in the Age of Donald Trump”, Lithuanian Annual Strategic Review, Vol. 17, 2019 p. 32-34, https://www.researchgate.net/publication/341919950_American_Foreign_Policy_in_the_Age_of_Donald_Trump
[8] “Trump’s Foreign Policy Moments”, Council on Foreign Relations, diakses pada 20 Juli 2021, https://www.cfr.org/timeline/trumps-foreign-policy-moments
[9] Raul Baker, “Donald Trump’s Revolutionary Foreign Policy”, Begin-Sadat Center for Strategic Studies, February 7, 2021, https://besacenter.org/trump-foreign-policy/
[10]Ians, “Donald Trump: Trust me, economy will soar in 2021”, The Bridge Chronicle, May 24, 2020, https://www.thebridgechronicle.com/world/donald-trump-trust-me-economy-will-soar-2021-50552
[11] Christine Maria Masniari, “Analisis Model Teori Idiosinkratik Terhadap Kebijakan Luar Negeri Perdana Menteri John Howard (1996-2007) dalam Imigran Gelap di Australia”, Binus University, November 19, 2018, https://ir.binus.ac.id/2018/11/19/analisis-model-teori-idiosinkratik-terhadap-kebijakan-luar-negeri-perdana-menteri-john-howard-1996-2007-dalam-imigran-gelap-di-australia/
[1] Dinda Arumsari Laksono, “Pengaruh Idiosinkratik Shinzo Abe Terhadap Upaya Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Dari Pasifisme Idealis Menjadi Pasifisme Proaktif”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3 (2018), p. 60, https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/download/27207/23817
[2] Ibid, p. 60-61