Virus COVID-19 yang telah mewabah di Indonesia sejak awal tahun 2020 menyebabkan hilangnya nyawa ratusan ribu manusia di seluruh Indonesia akibat penyebaran virus yang sangat mudah. Pemerintah Indonesia dalam hal ini kemudian menerbitkan aturan penegakan protokol kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor HK.01.07./MENKES/382/2020 yang didalamnya termuat cara perlindungan kesehatan individu. Akan tetapi dalam implementasinya, masyarakat masih banyak yang melanggar hal tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang sosial individu berperan dalam terjadinya pelanggaran terhadap protokol kesehatan COVID-19. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara dan studi kepustakaan. Setelah penelitian ini dilakukan diharapkan dapat menjadi rujukan dalam menyelaraskan implementasi dan tujuan dari protokol COVID-19 agar tepat sasaran dan efektif dalam mengatasi penyebaran virus COVID-19.
oleh: Ahmad Ghufran Akbar full-text PDF
Pendahuluan
Keberadaan COVID-19 (Corona Virus Disease – 2019) sangat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat. Pandemi yang melanda dunia ini telah banyak menumbangkan banyak sektor kehidupan, tidak hanya di Indonesia namun di seluruh dunia. Pandemi ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama, kurang lebih 2 tahun sejak 2019 hingga sekarang. Hal ini menuntut pemerintah dan masyarakat tidak bisa diam dan pasrah menerima keadaan. Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah agar kehidupan tetap berjalan walaupun tidak normal. Pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai salah satu cara untuk mengatasi terjadinya pandemi ini. Namun kebijakan ini dinilai kurang efektif dalam menangani COVID-19, karena kasus positif terus meningkat, hal ini disebabkan oleh ketidakpatuhan masyarakat terhadap kebijakan PSBB dan kurangnya imbauan pemerintah yang menekankan betapa pentingnya PSBB sebagai salah satu cara mengurangi serta mengakhiri penyebaran COVID-19.[1]
Setelah PSBB diimplementasikan, Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan aturan penegakan protokol kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor HK.01.07./MENKES/382/2020 yang didalamnya termuat cara perlindungan kesehatan individu yang meliputi (1) memakai masker (2) mencuci tangan (3) menjaga jarak atau 3M untuk hidup berdampingan dengan COVID-19. Akan tetapi protokol kesehatan pun masih sering dilalaikan.[2] Meskipun begitu, dalam kehidupan kita sehari-hari yang dapat dilihat di media massa, media sosial, maupun di lingkungan sekitar kita masih sering dijumpai masyarakat yang mengabaikan ataupun melanggar protokol kesehatan yang telah ditetapkan, jenis pelanggarannya pun berbeda-beda serta dilakukan oleh individu yang berasal dari latar belakang sosial yang berbeda pula. Perbedaan latar belakang sosial dari tiap individu yang kemudian memengaruhi tingkat akses terhadap kebutuhan-kebutuhan tadi dapat memberikan pengaruh terhadap terjadinya pelanggaran pada penerapan protokol kesehatan COVID-19 di era pandemi ini.
Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dari penelitian ini adalah: bagaimana latar belakang sosial memengaruhi terjadinya pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 di era pandemi? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latar belakang sosial terhadap pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 di kalangan masyarakat. Penulis berharap, penelitian ini mampu untuk menjelaskan bagaimana latar belakang sosial mempengaruhi pelanggaran yang terjadi pada penerapan protokol kesehatan COVID-19 serta dapat menjadi penambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman peneliti sebagai mahasiswa hubungan internasional. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi pada pembaca untuk dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya terutama sebagai rujukan penelitian sosial.
Alur Berpikir
Ajzen dan Fishbein berpendapat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan pengulangan terhadap tindakannya sehingga semua tindakan dapat dikatakan sebagai bentuk pengulangan dari tindakan manusia tersebut atau manusia lain dan terjadi secara tidak disadari di dalam alam bawah sadar mereka. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi situasional yang dialaminya, seseorang bisa saja secara sadar berkata bahwa dia tidak akan melanggar protokol kesehatan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu pelanggaran bisa terjadi tergantung kondisi situasional yang mereka alami. [4]
Dalam alur berpikir diatas dapat dilihat bahwa dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar, salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah latar belakang sosial yang dimiliki oleh individual. Hal ini terutama terjadi karena perubahan kondisi di era pandemi, beberapa kebutuhan dasar yang sebelumnya dapat diakses dengan mudah mengalami kendala dan membuat indidual terkena dilemma. Untuk mengatasi kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi tersebut, mereka melakukan pelanggaran dengan motif yang berbeda dan dipengaruhi oleh latar belakang sosial mereka. Hal tersebut dapat terulang apabila tidak terpenuhi dan apabila terpenuhi juga dapat terulang kembali di titik awal dikarenakan penambahan batasan-batasan oleh pemerintah di era pandemi. Berdasarkan hal tersebut, penulis berasumsi bahwa latar belakang sosial memengaruhi terjadinya pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 di era pandemi.
Hasil dan Pembahasan
COVID-19 adalah virus yang muncul di akhir tahun 2019 di Wuhan, China. Virus ini awalnya diperkirakan hanya sebagai penyakit demam dan sesak nafas biasa oleh masyarakat lokal disana. Akan tetapi memasuki tahun 2020, penyebaran virus ini meningkat secara signifikan terutama karena belum ada kewaspadaan oleh negara-negara internasional terhadap virus ini. Pada kasus kali ini, pandemi COVID-19 membawa dampak atau pengaruh yang sangat besar pada berbagai sektor kehidupan. Segala aspek kehidupan terpengaruh akibat terjadinya pandemi tersebut. Dalam ilmu sosial, perubahan yang terjadi dalam masyarakat inilah yang disebut dengan perubahan sosial. Perubahan sosial dapat berupa perubahan sosial ke arah positif dan negatif. Kedua bentuk perubahan ini sangat rentan terjadi di masyarakat. Perubahan sosial yang cenderung ke positif adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh setiap masyarakat, namun perubahan sosial yang mengarah ke negatif seperti penyakit masyarakat adalah suatu masalah yang harus dihindari. Dalam hal ini, Simuh mengatakan bahwa perubahan sosial yang bersifat negatif ini timbul dari kenyataan akan adanya unsur-unsur yang saling bertentangan di dalam kehidupan bermasyarakat.[5]
Pemerintah sudah berusaha melakukan penanganan berupa sosialisasi untuk memberi masyarakat pengetahuan bahwa pandemi COVID-19 ini sangat menular dan bisa berakibat fatal bagi penderita.[6] Pemerintah juga sudah memberlakukan regulasi berupa protokol kesehatan untuk menjaga masyarakat dari bahaya pandemi. Akan tetapi dalam penerapannya, masyarakat masih cenderung melakukan pelanggaran bahkan menyepelekan protokol kesehatan tersebut. Masyarakat cenderung percaya bahwa pandemi COVID-19 tidak nyata karena tidak melihat penderita secara langsung atau tidak mengalaminya secara langsung. Bahkan ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa pemerintah menyatakan bahwa korban COVID-19 meningkat masih banyak yang percaya bahwa itu hanya skema lain dari pemerintah.[7] Akan tetapi kecenderungan ini hanya terjadi pada masyarakat desa yang tidak terdampak COVID-19 secara langsung. Sedangkan, masyarakat yang hidup di daerah perkotaan cenderung lebih taat karena mengalami situasi tersebut secara langsung.[8] Meskipun demikian, kecenderungan pelanggaran tetap terjadi di daerah perkotaan. Untuk mengetahui peran latar belakang sosial terhadap pelanggaran protokol kesehatan tersebut penulis menggunakan teori piramida kebutuhan oleh Abraham Maslow.
Kebutuhan dasar manusia adalah hal yang mendasar bagi kehidupan manusia dan berperan sebagai akar dan penjaga keseimbangan kehidupan manusia baik secara fisik maupun psikis. Kebutuhan dasar manusia harus terpenuhi sebelum kebutuhan yang lain agar kehidupan manusia dapat berjalan dengan baik dan seimbang. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia akan melakukan beragam cara, mengingat kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Ketika kebutuhan satu terpenuhi maka akan muncul kebutuhan yang lain menuntut untuk dipenuhi.
Adapun kebutuhan dibagi menjadi beberapa tingkat sebagai berikut: (a) Tingkat kepentingan, kebutuhan manusia jika dilihat dari tingkat kepentingannya meliputi tingkat kebutuhan primer atau kebutuhan pokok seperti sandang pangan dan papan, kemudian selanjutnya kebutuhan sekunder, yang bertujuan untuk meningkatkan kebahagiaan manusia, seperti pendidikan dan hiburan. Selanjutnya kebutuhan tersier, yaitu kebutuhan tambahan yang tidak harus ada, kebutuhan tersier bertujuan untuk meningkatkan citra, harga diri dan gengsi, seperti kendaraan, (b) Tingkat waktu, kebutuhan manusia tingkat waktu meliputi kebutuhan sekarang dan kebutuhan masa yang akan datang, (c) Tingkat subjek, yaitu kebutuhan yang ada pada diri individu dan kebutuhan yang ada pada kelompok manusia, (d) Tingkat sifat, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani manusia, (e) Tingkat wujud. yaitu kebutuhan material yang berwujud benda seperti rumah, pakaian. Dan kebutuhan non-material yang tidak berwujud benda seperti hiburan, nasihat dan lain-lain.[9]
Lebih jauh Abraham Maslow memaparkan lima tingkat kebutuhan dasar manusia, yang dimana kebutuhan dasar manusia menjadi hal fundamental yang menunjang kesejahteraan kehidupan manusia. Hierarki kebutuhan dasar manusia menurut Maslow meliputi kebutuhan fisiologi, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi. [10]
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling mendasar yang dibutuhkan oleh semua umat manusia, dimana ini sangat penting dalam membantu manusia untuk mempertahankan hidupnya, kebutuhan ini mencakup kebutuhan yang berkaitan akan fisik manusia seperti makanan, minuman, tempat tinggal, istirahat, dan juga udara. Semua kebutuhan tersebut merupakan komponen penting untuk menunjang keberlangsungan hidup setiap manusia yang ada di bumi. Kebutuhan fisiologis adalah potensi paling dasar dan paling penting dibandingkan semua pemenuhan kebutuhan lainnya, hal yang membuat kebutuhan fisiologis sangat berbeda dengan kebutuhan lainnya dikarenakan: Kebutuhan fisiologis adalah satu-satunya kebutuhan yang harus bisa terpuaskan sepenuhnya atau minimal bisa diatasi. Seperti contohnya saat seseorang merasa sangat lapar dan ia hanya melihat satu jenis makanan yang ada di depannya, maka ia akan otomatis langsung menyantap makanan tersebut tanpa peduli dengan rasa, bau, temperatur ataupun tekstur makanan karena yang ada di pikirannya hanya satu, yaitu bagaimana caranya ia harus makan demi menghilangkan rasa laparnya.
Dalam pemenuhannya, kebutuhan fisiologis tidak cukup sekali, karena setiap kebutuhan pokok manusia tidak dapat terpenuhi hanya sekali dikarenakan manusia pasti akan terus menerus membutuhkan berbagai kebutuhan tersebut, seperti makanan, minuman, istirahat, udara yang dalam pemenuhannya tidak cukup hanya sekali. Selain itu, dalam keberlangsungan hidupnya setiap manusia juga membutuhkan rasa aman dari segala bentuk ancaman, baik yang menyerang dari segi fisik, psikis, dan juga lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Abraham Maslow setiap manusia membutuhkan perlindungan karena mereka memiliki rasa takut, cemas dari bahaya yang mengancam karena setiap manusia ingin memiliki kehidupan yang tenang dan juga bebas. Karenanya kebutuhan yang satu ini sangat penting untuk dipenuhi oleh setiap manusia demi mendapat kehidupan yang normal, tenang, dan damai.
Jika kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka muncul kebutuhan manusia untuk dicintai, kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi dorongan untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan, kebutuhan untuk dekat pada keluarga dan kebutuhan antarpribadi seperti kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta. Ini tidak lain karena manusia sendiri adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya dan setiap manusia pasti tidak akan bisa hidup sendiri, karenanya kebutuhan ini juga dinamakan sebagai kebutuhan sosial. Setelah kebutuhan dicintai dan memiliki tercukupi, manusia kemudian akan mengejar kebutuhan akan penghargaan. Kebutuhan akan penghargaan yang dimaksud disini berkaitan dengan harga diri setiap manusia. Ada dua kategori yang membedakan kebutuhan ini dimana yang satu lebih rendah dan yang satunya lebih tinggi. Kebutuhan yang rendah yaitu maksudnya adalah bagaimana seorang manusia membangun citranya sendiri dimata orang lain, seperti menghormati orang lain, kebutuhan akan status, ketenaran, kemuliaan, pengakuan dari orang lain, perhatian dari orang lain, reputasi, apresiasi dari orang lain, martabat, bahkan dominasi. Sedangkan kebutuhan yang lebih tinggi disini maksudnya adalah kebutuhan untuk lebih menegaskan harga diri mereka dihadapan orang lain seperti prestasi, kekuasaan, keyakinan, kemandirian, dan kebebasan. Berkaitan dengan harga diri seseorang dan juga bagaimana caranya untuk mendapat perhatian dari orang lain agar citra mereka baik dimata orang lain.
Kebutuhan terakhir yang dibutuhkan oleh setiap manusia adalah adalah untuk aktualisasi diri. Kebutuhan untuk aktualisasi diri adalah sebagai alat untuk setiap manusia untuk terus menerus memenuhi dan menemukan potensi yang mereka miliki. Kebutuhan untuk aktualisasi diri sebenarnya didorong oleh keinginan dari kebutuhan akan penghargaan dikarenakan setiap manusia itu akan berusaha untuk membangun citra baik dihadapan manusia yang lainnya dan mereka juga akan berusaha untuk mempertahankan harga diri mereka dihadapan orang lain.
Piramida Kebutuhan oleh Abraham Maslow
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, masyarakat merespon dengan berbagai macam tindakan. Masyarakat yang pada dasarnya terbagi atas berbagai kelas karena perbedaan latar belakang sosial, beberapa dari mereka memutuskan untuk melanggar protokol kesehatan, terutama masyarakat kelas rendah. Pembagian kelas ini dibagi atas masyarakat kelas rendah, menengah, atas. Kecenderungan masyarakat kelas rendah untuk melanggar protokol kesehatan terjadi karena mereka mengganggap bahwa pemenuhan kebutuhan untuk pembelian masker medis tidak penting selama kebutuhan fisiologis mereka terpenuhi.[11] Mereka beranggapan bahwa masih banyak kebutuhan lainnya untuk mereka penuhi seperti biaya sewa kos (untuk mereka yang kos), modal untuk berdagang kembali, serta kebutuhan lainnya. Sedangkan rata-rata pegawai pemerintah atau pegawai yang memiliki gaji secara tetap (kelas masyarakat menengah) menyatakan bahwa mereka tidak memiliki alasan khusus untuk melanggar protokol kesehatan dan lebih mengutamakan kesehatan mereka.[12] Hal yang sama juga terjadi di masyarakat kalangan atas.[13]
Dilain sisi, beberapa kalangan terpelajar seperti mahasiswa seringkali melakukan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19. Mereka beranggapan bahwa protokol kesehatan tersebut merepotkan dan mengganggu aktivitas mereka. [14] Hal ini dapat dikaitkan dengan kecenderungan remaja yang mengutamakan kesenangan, yang dalam hal ini merupakan kebutuhan untuk aktualisasi diri seperti yang sudah dijelaskan dalam teori Abraham Maslow sebelumnya. Menurut Ajzen dan Fishbein, kecenderungan orang-orang untuk melakukan sesuatu didasari oleh rasa aman.[15] Rasa aman ini merupakan ilusi kebutuhan dasar tingkat kedua yang terjadi ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Tentu saja yang berani mengambil resiko lah yang melakukan tindakan tersebut. Masyarakat yang memiliki zona aman sendiri tanpa tekanan untuk memenuhi kebutuhan tingkat pertama tidak akan melakukan hal tersebut karena sudah paranoid atau takut secara berlebihan pada pandemi COVID-19. Akan tetapi masyarakat yang masih memiliki banyak kebutuhan tingkat pertama untuk dipenuhi memutuskan untuk melakukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan tersebut. Fenomena pelanggaran protokol kesehatan oleh kalangan remaja juga dipengaruhi oleh ilusi rasa aman tersebut. Ketika mereka melakukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan dan merasa bahwa hal tersebut tidak berpengaruh pada kehidupan mereka, orang lain juga akan terpengaruh oleh tindakan mereka yang didasarkan oleh rasa aman tersebut. Terutama karena remaja merupakan fase dimana pengaruh sikap teman terhadap sesuatu mempengaruhi tindakan mereka. Hal tersebut akan berujung pada pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan lainnya oleh orang lain yang berhubungan dengan mereka yang terperangkap dalam ilusi rasa aman tersebut hingga pada akhirnya kasus COVID-19 tetap saja meningkat tiap hari walaupun pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegahnya.
Berdasarkan pemaparan materi penulis sebelumnya, maka kita mendapatkan beberapa luaran berupa: (1) masyarakat kalangan rendah lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar tingkat 1 dibandingkan patuh kepada protokol kesehatan, (2) masyarakat kalangan menengah ke atas lebih memilih patuh daripada membahayakan kesehatan mereka, (3) kalangan remaja lebih mengutamakan aktualisasi diri dibandingkan patuh kepada protokol kesehatan sebagai akibat dari ilusi rasa aman setelah berhasil melanggar protokol kesehatan tanpa mengalami masalah, (4) poin ke (1) lebih sering terjadi di pedesaan daripada di perkotaan karena dampak yang dialami berbeda terutama dalam hal tingkat paranoia terhadap penyebaran COVID-19.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Patuh atau tidaknya suatu individu atau kelompok masyarakat terhadap protokol kesehatan COVID-19 dapat dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar fisiologis mereka, jika kebutuhan dasar tersebut belum terpenuhi maka akan sulit bagi mereka untuk mengeluarkan biaya lebih guna melindungi diri dari virus seperti membeli masker, handsanitizer dan peralatan kesehatan lainnya. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas yang telah terpenuhi kebutuhan fisiologisnya tidak memiliki alasan khusus untuk tidak mematuhi protokol kesehatan, dari hasil wawancara didapati bahwa faktor yang menyebabkan mereka melanggar protokol kesehatan murni hanya karena kelalaian manusia semata seperti contohnya rasa lupa. Namun hal yang menarik, mahasiswa yang berasal dari kalangan remaja masih melakukan pelanggaran protokol kesehatan karena protokol kesehatan dianggap mengganggu, merepotkan dan usia remaja tidak rentan terhadap penularan virus COVID-19. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa latar belakang sosial memang berpengaruh terhadap tingkat pelanggaran protokol COVID-19, hal ini didasari pada hasil penelitian dan wawancara langsung dengan narasumber dari berbagai kelas masyarakat di lapangan sehingga selaras dengan piramida kebutuhan Abraham Maslow yang dimana menjelaskan bahwa kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan paling dasar manusia dan jika hal tersebut telah terpenuhi barulah manusia tersebut akan memikirkan kebutuhan di tingkat selanjutnya.
Saran
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi terus menerus mengenai pentingnya protokol kesehatan untuk menanggulangi penyebaran COVID-19. Kesadaran masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mengkampanyekan pentingnya protokol kesehatan. Selain itu pemerintah juga harus memperketat penjagaan dan memberikan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan agar masyarakat jera untuk melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Kerjama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dapat menjadi solusi untuk memutus mata rantai COVID-19. Penulis berharap artikel ini dapat menjadi sudut pandang baru dalam implementasi protokol kesehatan COVID-19.
Daftar Pustaka
[1] Luthfia Ayu Azanella, Kompas.com, “Apa Itu PSBB hingga Jadi Upaya Pencegahan Covid-19?” diakses melalui https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/13/153415265/apa-itu-psbb-hingga-jadi-upaya-pencegahan-covid-19?page=all pada 1 Juni 2021
[2] Novi Afrianti dan Cut Rahmiati, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Masyarakat terhadap Protokol Kesehatan COVID-19, Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal Vol. 11 No. 1 (2021), hal. 114
[3] Muhammad Aziz, (2014), “Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Penjualan dan Persediaan pada Koperasi Mahasiswa UIN Maliki Malang”, Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, hal. 74
[4] Judith Holdershaw dan Philip Gendall, Understanding and Predicting Human Behaviour, ANZCA08 Conference, Power and Place. Wellington, July 2008 hal. 5
[5] Paisol Burlian, Patologi Sosial, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2016, hal. 13
[6] Aep Hendy, Pikiran Rakyat, “Pemerintah Dinilai Belum Optimal dalam Sosialisasi Pencegahan Virus Corona” diakses melalui https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01355044/pemerintah-dinilai-belum-optimal-dalam-sosialisasi-pencegahan-virus-corona pada 1 Juni 2021
[7] Hasil wawancara dengan Bapak Kasim [Bintara Pembina Desa Mura, Nusa Tenggara Barat], pada 18 Juni 2021
[8] Hasil wawancara dengan Ibu Anggi Dwi Sasmita [Perawat Klinik Husada Mulia, Jawa Timur], pada 18 Juni 2021
[9] Redaksi Kelas Pintar, Kelas Pintar, “Melihat Macam-macam Kebutuhan Manusia” diakses melalui https://www.kelaspintar.id/blog/tak-berkategori/macam-macam-kebutuhan-manusia-8137/ pada 1 Juni 2021
[10] Murhibin dan Marfuatun, Urgensi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow Dalam Mengatasi Prokrastinasi Akademik Di Kalangan Mahasiswa, Jurnal Ilmu Kependidikan Vol. 15 No. 2 (2020), hal. 72- 74
[11] Hasil wawancara dengan Ibu Rahmah, Ibu Rosmini, Ibu Nurmala [Pedagang-Pedagang Pasar Tradisional Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat], pada 17 Juni 2021
[12] Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Satriawan [Pegawai BUMN, Nusa Tenggara Barat]
[13] Hasil wawancara dengan Ibu Victoria Magdalena Marpaung [Area Manager UOB Bank Plaza Thamrin Jakarta Pusat], pada 17 Juni 2021
[14] Hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa: Wawan Juliansyah [mahasiswa UNRAM, Nusa Tenggara Barat], Aldo Kurniawan [mahasiswa UNILA, Lampung], Mufid Meyuarta [mahasiswa UNDIP, Jawa Tengah], Rizki Amalia [mahasiswa UM, Jawa Tengah] pada 19 Juni 2021
[15] Judith Holdershaw dan Philip Gendall, Understanding and Predicting Human Behaviour, ANZCA08 Conference, Power and Place. Wellington, July 2008 hal. 7