Kebijakan Uni Eropa dalam Merespon Krisis Energi Pasca Brexit

Melalui terbelisitnya berbagai fakta mengenai dominannya Prancis dan Jerman setelah keluarnya Inggris dalam menahkodai arah organisasi supranasional Uni Eropa  (UE) menunjukkan bahwa kekuasaan, kepentingan, bisa terwujudkan apabila ada power yang dimiliki suatu negara. Tulisan ini akan membahas tentang kebijakan luar negeri UE berkaitan dengan respon yang mereka berikan terhadap krisis energi yang menerjang terutama negara yang menjadi pemegang kunci seperti Jerman dan Prancis pasca keluarnya Inggris melalui peristiwa Brexit. Untuk memahami segala aspek permasalahan, tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dalam menemukan dan menjelaskan semua informasi terkait yang didapatkan penulis. Hasil yang didapatkan penulis adalah dengan tidak adanya Inggris cukup mempengaruhi keadaan Uni Eropa khususnya slot pengisi sumber dana yang diisi oleh Jerman maupun Prancis dimana pendanaan ditutupi oleh kedua Negara tersebut. Hal ini sangat mempengaruhi kebutuhan pada sektor sektor program yang dikembangkan khususnya pada permasalahan energi.

oleh: Dzia Istiqlal

Konten ini awalnya ditulis untuk program sarjana atau magister. Ini diterbitkan sebagai bagian dari misi kami untuk menampilkan makalah yang dipimpin oleh rekan yang ditulis oleh mahasiswa selama studi mereka. Karya ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan latar belakang dan penelitian, tetapi sebaiknya tidak dikutip sebagai sumber ahli atau digunakan sebagai pengganti artikel/buku ilmiah.

Pendahuluan

Latar Belakang

Uni Eropa merupakan satuan politik dan ekonomi yang terdiri dari 27 anggota negara, pada awal kehadiran Uni Eropa yaitu pasca berakhirnya perang Dunia ke 2 dimana Uni Eropa memiliki tujuan untuk mewujudkan perdamaian tanpa adanya perang pada benu Eropa. Uni Eropa sendiri memerlukan waktu untuk membangun Persatuan tersebut dimana merekaa menyempurnakan persatuan tersebut melalui thapan yang jalan secara berangsur, melalui trakta demi traktat yang awalnya didirikan oleh  6 negara anggota pada tahun 1957 dan terus berkembang hingga saat ini menjadi 27 negara. Uni Eropa melalui traktat – traktat untuk membentuk kesepahaman antara anggota memunculkan berbagai kemajuan berupa kebijakan – kebijakan seperti Uni Eropa memiliki mata uang sendiri, dimana negara – negara anggota juga menggunakan mata uane Euro sebagai alat tukar resmi Uni Eropa, Uni Eropa juga memantau serta mengatur berbagai bidang seperti permasalahan perdagangan, pasar internasional, energi, komunikasi dan lainnya, Uni Eropa juga memiliki sistem pemerintahan yang rapi dan terperinci untuk menopang sistem kerja Organisasi supranasional Uni Eropa[1]

Dengan kehadiran Uni Eropa serta proses terbentuknya dan utuhnya Uni Eropa sampai saat ini tidak lepas dari porises waktu yang cukup lama diantaranya pembentukan ECSC (European Coal and Steel Community) pada 20 Januari 1950, kemudian berkembang menjadi EEC (European Economic Community) dan Euratom (European Atomic Energi Community). Dan pada tahun 1957 keduan komunitas yang dibentuknya akhirny dilebur kembali menjadi EC (European Community) dan pada tahun 1992 melalui trakta Maastricht Berganti nama menjadi EU (European Union). Dengan berkembang pestnya EU menjadi daya tarik beberapa negara di Eropa untuk menjadi anggota EU tidak terkecvuali Inggris juga memiliki minat untuk menjadi anggota Uni Eropa yang pada tahun 1961 mengajukan proposal keanggotan namun ditolak oleh Presiden Prancis Charles de Gaulle yang kala itu cukup dominan dalam menentukan arah keputusan Uni Eropa, namun Inggris telah sah menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 1973 pasca berakhirnya jabatan Charle De Gaulle. Pada tahun 1954, adalah tahun terbentuknya Perjanjian Roma melalui kesepakatn 6 negara anggota pembentuk Uni Eropa dan membentuk European Economic Community – EEC (Masyarakat Ekonomi Eropa, dengan capaian akhir adalah membentuk pasar bersamapara anggota EEC telah sepakat untuk menghapus bea impor dan berbagai jenis pajak serta regulasi dalam transaksi ekonomi, serta mengatur juga lalu-lintas barang antar negara. serta negara-negara EEC juga cukup terbuka untuk menambah anggota baru yang ingin mengajukan untuk bergabung. Dengan terbukanya EEC pada Tahun 1973 bergabung Inggris, Irlandia dan Denmark bergabung dengan EEC. Kemudian tahun 1980-an disusul Yunani, Spanyol dan Portugal.[2]

Pada tanggal 1 November 1993, negara-negara MEE menyepakati Traktat Maastricht untuk mendirikan Uni Eropa. Kesepakatan itu menyepakati antara negara-negara anggota untuk bekerjasama di bidang keadilan dan keamanan. Selain itu, pengenalan mata uang bersama, euro, disepakati dalam perjanjian ini. Bergabung dengan UE mengharuskan Inggris untuk mengoordinasikan kebijakan yang diterapkan di Uni Eropa. Inggris Raya juga merupakan salah satu anggota Uni Eropa dengan pendapatan nasional tertinggi. Sementara bagian dari Uni Eropa, Inggris juga menikmati berbagai manfaat, termasuk: B. Menghilangkan hambatan perdagangan dan mempromosikan impor dan ekspor di  Eropa. Namun, ini tidak serta merta memenuhi persetujuan semua pemangku kepentingan Inggris. Menyusul penilaian dan review efektivitas Inggris di Uni Eropa, beberapa Pihak telah menyatakan penentangan terhadap aksesi Uni Eropa ke Inggris.[3]

Namun, keanggotaan Inggris berakhir pada tahun 2016, lebih tepatnya pada tanggal 23 Juni 2016 dimana masyarakat Inggris lebih menginginkan untuk tidak menjadi bagian dari Uni Eropa dimana keputusan ini ditentukan langsung oleh Perdana Menteri David Cameroon walaupun sebelumnya lebih menginginkan Inggris tetap sebagai bagian dari Uni Eropa dan justru sebagai pelakasana serta memiliki peran untuk menjalankan Referendum Brexit, Ini juga didukung oleh Partai Buruh, Hasil referendum menunjukkan bahwa rakyat Inggris ingin keluar dari Uni Eropa..[4] Namun, berbagai negosiasi perlu dilakukan antara kedua belah pihak untuk mengatur berbagai hal ke depan. Yang pertama adalah pemisahan ekonomi yang saat ini terikat antara Inggris dan Uni Eropa. Proses ini dapat memakan waktu dua tahun atau lebih, dan selama negosiasi ini Inggris akan dianggap sebagai negara anggota Uni Eropa. Artinya, Inggris harus mematuhi semua aturan dan perjanjian aksesi, tetapi tidak lagi memiliki suara dalam pengambilan keputusan.

Dengan keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa jelas meninggalkan banyak kerugian, tidak hanya pihak Inggris sebagai negar yang memilih mundur tapi juga Induk Organisasi yaitu Uni Eropa yang juga mendapat dampak yang buruk berupa hilangnya kewajiban–kewajiban serta pos–pos yang ditinggal Inggris dan harus ditutup oleh anggota negara Uni Eropa lainnya. Hal ini juga berdampak pada pengambilan kebijakn dimana banyak kebijakan sangat bergantung kepda tiga negara kuat seperti Inggris, Perancis dan Jerman. Hal ini bisa terlihat bagaiamana dominasi ketiga negara tersebut salah satunya penolakan Jerman untuk mengikuti perubahan label produk dari “Made in Germany” menjadi “Made in EU” menjadi bukti kuat bahwa kekuatan suatu negara juga bisa memberi pressure pada suatu kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa negara – negara lain masih memperlihatkan kelemhannya dan sulit untuk tidak satu jalur dari kebijakan uni eropa yang lebih didominasi jerman, prancis dan inggris. Namun bukan berarti secara penuh Uni Eropa dikontrol oleh Jerman dan Prancis dikarenakan Uni Eropa merupakan organisasi supranasional yang memiliki sistem internasional yang kuat dikarenakan tiga hal poin penting berupa national consciousness, national sitution, dan nationalism.[5]

Melalui terbelisitnya berbagai fakta mengenai dominannya Prancis dan Jerman setelah keluarnya Inggris dalam menahkodai arah organisasi supranasional Uni Eropa menujukkan bahwa kekuasaan, kepentingan, bisa terwujudkan apabila ada power yang dimiliki suatu negara. Negara anggota yang memiliki power kemampuan militer dan teknologi yang lebih mampuni dan memiliki sumbangsih kuat pada organisasi internasional seperti memiliki hak veto di dewan keamanan serta memiliki kekuatan ekonomi dunia memiliki sikap yang berbeda dibandingkan anggota yang tidak memiliki kekuatan seperti negara yang memiliki tersebut, hal ini memberikan dampak berupa hambatan pada kebijakan luar negri Uni Eropa karena memiliki kepentingan yang berbeda-beda[6] Hal ini menjadikan bahwa pembuatan kebijakan luar negeri Uni Eropa menjadi beban bagi anggota menengah ke bawah karena secara tidak langsung negara menengah kebawah akan mengikuti kebijakan negara yang memiliki power lebih besar, dikarenakan negara yang memiliki power akan cenderung bertindak secara bilateral, trilateral atau pengaturan terbatas. Hal ini bisa terlihat pada posisi kursi permanen dewan keamanan PBB serta status nuklir yang dimiliki Prancis serta Inggris yang sudah menyatakan keluar dari UE yang memiliki hak istimewa terhadap itu. Namn dalam pembuatan kebijakan luar negeri Uni Eropa tetap mempunyai syarat untuk bisa memberlakukan atau menetapkan kebijakan tersebut.

Ada beberapa alasan yang menjadikan Prancis dan Jerman memiliki dominasi dalam menentukan arah kebijakan mereka seperti Prancis yang memiliki pangkalan militer yang besar di luar negeri. Hal ini menjadikan Prancis tidak memberikan ruang pendapat bagi anggota lainnya terkhuss mengenai kerangka kerja dan legitimasi multilateral untuk tindak militerisasi. Dan terdapat kesenjangan kekuatan Uni Eropa adntara negara – negar akecil dibandingkan Prancis dan Jerman, namun kekuatan negara besar tersebut tidak cukup dan memiliki keterbatasan hal ini membuat dan membutuhkan kemitraan dengan negara-negara Uni Eropa lainnya dalam menentukan kebijakan luar negeri yang diterima secara masional dan internasional.

Hantaman demi hantaman terus menerjang Uni Eropa termaksud kembali pecahnya hubungan Ukraina dan Rusia, memberikan efek yang cukup serius terkhsus wilayah Uni Eropa, dimana anggota–anggota Uni Eropa memiliki ketergantngan pasokan energi dari Rusia, yang menjadi pertanyaan bagi tindakan yang diambil oleh Uni Eropa dalam upaya menanggulangi permasalahan krisis sumber daya energi ditengah-tengah pemberlakuan embargo terhadap Rusia engan harapan berhentinya Rusia untuk mengambil tindakan agresif terhadap Ukraina. Beberpa upaya yang dilakukan oleh Uni Eropa mengambil jalan keluar dari kebutuhan energi berupa tindakan seperti membuat transisi energi ke bentuk sumber energi baru terbarukan (EBT). Hal ini perlu diambil agar Uni Eropa memiliki power terhadap Rusia dengan tidak terlalu bergantung terhadap energi milik Rusia. Rencana tersebut bukan sekedar isapan jempol belaka, ada beberpa upaya untuk mewujudkan hal tersebut, melalui negara – negara Uni Eropa yang memiliki power lebih dominan dibandingakan anggota lainnya seperti Prancis dan Jerman.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron sudah mengumumkan rencana pembangunan duabelas buah pembangkit listrik tenaga nuklir dengan tujuan untuk membatasi penjulan gas alam Rusia ke utilitas Prancis, serta tindakan mantan kanselir Jerman Gerhard Schroder yang kini menjabat sebagai chairman perisahaan minyak terbesar milik Rusia yaitu, Rosneft membantu Jerman untuk membekukan proyek pipa gas Nord Stream 2 walaupun status Jerman saat ini sangat dekat dengan Rusia. Upaya – upaya juga dilakukan oleh Jerman imana Jerman menyetujui anggaran sebesar Uss 68 Miliar pada bulan Desember 2021 mengeni proyek insfratuktur hijau dan iklim.[7]

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang tercantum sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan yaitu “Bagaimana Peran Jerman dan Prancis pada Kebijakan Uni Eropa dalam Merespon Kebutuhan Pasokan Energi Pasca Brexit?”

Pages: 1 2 3Next page

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *