Perubahan Rezim Politik dan Kudeta Militer di Burkina Faso

Konten ini awalnya ditulis untuk program sarjana atau magister. Ini diterbitkan sebagai bagian dari misi kami untuk menampilkan makalah yang dipimpin oleh rekan yang ditulis oleh mahasiswa selama studi mereka. Karya ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan latar belakang dan penelitian, tetapi sebaiknya tidak dikutip sebagai sumber ahli atau digunakan sebagai pengganti artikel/buku ilmiah.


oleh: Abdullah Amir Jhiwan J

Di kawasan Afrika Barat atau Western Africa, perkembangan dan dinamika perpolitikan kawasan banyak diwarnai oleh konflik, baik itu konflik horizontal hingga konflik vertikal. Konflik yang terjadi biasanya antara suku-suku atau antara pemerintah dan militer atas dasar arah kebijakan negara. Dalam dua tahun terakhir, setidaknya telah terjadi tiga peristiwa pengambilalihan kekuasaan oleh militer di kawasan Afrika Barat, atau lebih dikenal dengan istilah kudeta “Coup d’état”. Negara Afrika barat seperti Mali, Guinea dan Burkina Faso merupakan negara-negara yang mengalami kudeta, hal ini diakibatkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola negara dengan mengatasi permasalahan-permasalahan mendasar dalam kehidupan masyarakat. Adapun kasus kudeta yang baru-baru ini terjadi, dialami negara Burkina Faso pada tanggal 23 Januari 2022.[1]

Latar Belakang

Secara geografis, Burkina Faso berada di wilayah Afrika Barat (Western Africa) dan berada di tengah dari daratan negara-negara Afrika Barat dengan mencakup area seluas 274.000-kilometer persegi. Posisi Burkina Faso berbatasan di utara dan barat dengan Mali, di timur laut dengan Niger, di tenggara dengan Benin, dan di selatan dengan Togo, Ghana, dan Pantai Gading (Cotte d’ivoire). Ibukota Burkina Faso adalah Ouagadougou sekaligus sebagai kota pusat pemerintahan. Terdapat setidaknya 70 bahasa yang digunakan penutur asli Burkina Faso dengan bahasa Prancis yang diberlakukan sebagai bahasa resmi.[2] Secara demografi, populasi dari penduduk di Burkina Faso didominasi oleh penduduk Mossi dengan persentase sebesar 50,2%, sedangkan etnis Fulani sebesar 9,4%, 4,7% Lobi, 5,9% Bobo, 5.4% Mande, 4,9% Senufo, 4,5% Gurunsi, 5.8% Gurma and 2.5% Tuareg.[3] Adapun dalam kehidupan beragama, Burkina Faso terdiri atas mayoritas penduduk beragama islam dengan persentase 60,5%, sisa dari populasi memeluk agama secara relatif, dengan persentase pemeluk agama kristen sebesar 23,2%, kemudian 15,3% mengikuti kepercayaan asli atau agama nenek moyang mereka, dan 1% sisanya menurut laporan tidak memeluk agama.[4]

Sejak memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada 1960, kondisi keamanan di Burkina Faso tidak pernah mencapai keadaan stabil. Negara ini mulanya di sebut Upper Volta sejak pertama kali merdeka dengan Maurice Yameogo sebagai presiden. Kemudian pada tahun 1966, memuncaknya ketidakstabilan negara mengakibatkan presiden Maurice Yameogo digulingkan oleh Sangoule Lamizana. Sejak saat itulah, dinamika pergantian kekuasaan dan kerancuan perpolitikan seakan menjadi bagian tak terhindarkan dalam pemerintahan negara Burkina Faso.[5]

Perubahan-perubahan politik dengan pola serupa memang merupakan hal yang lazim untuk dialami negara-negara dalam sistem iklim politik yang dinamis. Lazim yang dimaksud disini, yaitu persamaan pola yang melatarbelakangi bangkitnya kelompok yang berseberangan atau kontra terhadap pemerintah. Ketidakharmonisan hubungan antar-lembaga negara juga seringkali menjadi penyebab terjadinya konflik, terutama dalam ruang perumusan arah kebijakan negara. Berdasar perbedaan itulah, suatu kelompok mencari cara untuk mengutarakan keinginannya baik secara konstitusional maupun inkonstitusional.  Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Edward P. Thompson yang mendapatkan hasil dari kajian sejarah politik, kajian kasus, dan berita domestik atau surat kabar, dalam temuannya dijelaskan bahwa salah satu faktor yang mendorong terjadinya kudeta atas suatu negara ialah dikarenakan ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Dalam persentase hasil temuan tersebut, Ia mendapatkan data bahwa sejumlah 53% dari suatu peristiwa kudeta terkait erat dengan ketidakpuasan terhadap penguasa, motif lainnya ialah untuk menguasai dan menghalangi partai-partai politik dan individu yang dianggap sebagai ancaman. Ada kalanya jalan kudeta dinilai sebagai jalan akhir untuk menghentikan pemerintahan secara inkonstitusional oleh suatu kelompok.[6]

Kudeta merupakan suatu peristiwa yang menyangkut pergantian kekuasaan atau rezim lama dan tidak menutup kemungkinan sering terjadi di berbagai Negara. Sehingga fenomena kudeta bisa dikatakan sebagai suatu hal yang lumrah untuk terjadi di berbagai negara. Terutama negara-negara di kawasan Afrika Barat, salah satunya Burkina Faso yang telah mengalami kudeta sejumlah 5 hingga 6 kali sejak diberikan kemerdekaan oleh Prancis hingga saat ini. Paling tidak kudeta sukses di Burkina Faso terjadi sejak Burkina Faso menyandang status sebagai negara merdeka pada tahun 1960 Republik, yang mana dari keseluruhan kudeta tersebut juga melibatkan elit dan pejabat tinggi militer disana.

Secara historis, Angkatan Bersenjata atau militer Burkina Faso telah memainkan peran penting dalam pergantian-pergantian atas rezim. Bahkan dalam perkembangannya, militer telah beberapa kali melakukan kudeta yaitu pada tahun 1966, 1980, 1982, 1983, 1987, 2015, dan yang terkini pada tahun 2022. [7] Pada tanggal 23 Januari 2022 lalu terjadi upaya kudeta militer guna menumbangkan rezim Roch Kabore yang tengah memegang kendali kekuasaan sejak terpilih kembali menjadi presiden pada tahun 2020. Saat itu, terjadi serangkaian tembakan senjata di Ibukota Burkina Faso, Ouagadougou. Awalnya Pemerintah membantah desas-desus tentang kudeta, tetapi tentara yang menginginkan perubahan dalam negara tampaknya telah menguasai beberapa pangkalan militer. Kemudian pada tanggal 24 januari 2022, secara resmi tentara Burkina Faso mengumumkan bahwa negara telah berhasil diambil alih oleh pihak militer. Tentara Burkina Faso mengatakan mereka mengambil alih negara itu pada Senin 24 Januari 2022, menggulingkan Presiden Roch Kabore, membubarkan pemerintah dan parlemen, menangguhkan konstitusi dan menutup perbatasannya. Kudeta itu diumumkan di televisi pemerintah oleh Kapten Sidsore Kader Ouedraogo, yang mengatakan militer telah merebut kekuasaan sebagai tanggapan atas “penurunan situasi keamanan yang sedang berlangsung” di negara itu dan “ketidakmampuan pemerintah” untuk menyatukan penduduk.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian tersebut, maka penulis merumuskan masalah yang akan dikaji melalui pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu: Apa faktor yang menyebabkan Kudeta Militer di Burkina Faso tahun 2022?

Kerangka Teori

Teori dapat didefinisikan sebagai perangkat atau proposisi umum yang menggambarkan aspek yang berbeda dari beberapa fenomena. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Teori Hubungan Sipil-Militer dan Intervensi Militer.

Hubungan Sipil Militer dan Intervensi Militer

Dalam pandangan Huntington, terdapat dua bentuk hubungan sipil militer. Pertama, kontrol sipil obyektif (Objective Civilian Control). Istilah ini mengandung makna profesionalisme militer yang tinggi dan memiliki pengakuan dari pejabat militer terhadap batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka, subordinasi yang efektif dari militer pada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan negara. Kedua, kontrol sipil subyektif (Subjective Civilian Control), bentuk kontrol ini adalah memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini juga bisa diartikan sebagai upaya meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok-kelompok sipil.[8]

“Michael C. Desch dengan mengacu pada Huntington, menganalisis munculnya hubungan sipil militer dari persoalan internal maupun eksternal dalam suatu negara. Desch mencatat suatu negara yang menghadapi tantangan militer tradisional, yaitu ancaman dari luar, akan lebih memungkinkan memiliki hubungan sipil militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti itu memaksa institusi sipil lebih menyatu dan berkerjasama menangani masalah bersama-sama dengan militer. “[9]

Sedangkan dalam penjelasan intervensi militer, secara sederhana diartikan ketika tentara atau militer masuk, berpartisipasi, mempengaruhi kebijakan poltik (baik secara langsung atau tidak). Amos Perlmutter melihat ada dua kondisi yang memberi kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi, yaitu: kondisi sosial dan politik suatu negara itu sendiri. Pertama, kondisi sosial. Dalam suatu negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi politik tidak berfungsi efektif. Dengan demikian kontrol sosial menjadi tidak efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, kemudian membuat militer berkesempatan untuk melakukan intervensinya. Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Sering sekali pemerintah sipil sengaja kembali, atau merapat kepada militer untuk mencari dukungan. Ketika struktur politik sipil terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi tidak berjalan. “[10]

Bila Perlmutter lebih melihat faktor eksternal yang mempengaruhi hubungan sipil militer, S. F. Finner lebih melihat kepada faktor internalnya. Dari dua pandangan itu, kita bisa melihat adanya dua jalan yang menyebabkan militer akhirnya melakukan intervensi terhadap pemerintahan sipil. Yaitu melihat dari faktor eksternal dan internal yang menjadi motivasi militer melakukan intervensi. Di lain sisi Finner juga mencatat berapa jalan yang memungkinkan militer melakukan intervensi, yaitu: “[11]

  1. Melalui saluran-saluran konstitusi normal (The normal constitutional channels).
  2. Kolusi dan/atau persaingan dengan otoritas sipil (Collusion and/or competition with the civilian authorities).
  3. Intimidasi terhadap otoritas sipil (The intimidation of the civilian authorities).
  4. Mengancam dengan menolak bekerjasama dan/atau dengan kekerasan terhadap otoritas sipil (Threats of non-cooperation with, or violence towards the civilian authorities).
  5. Gagalnya mempertahankan otoritas sipil dari kekerasan (Failure to defend the civilian authorities from violence).
  6. Menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil (The exercise of violence against the civilian authorities)

Pembahasan

Kudeta Militer di Burkina Faso

Burkina Faso adalah salah satu dari 16 negara yang terkurung daratan di Afrika. Sebelumnya negara ini disebut Upper Volta, negara ini kemudian diganti namanya oleh Presiden Thomas Sankara pada tahun 1984 menjadi Burkina Faso Negara ini berbatasan dengan enam negara: Mali di utara, Niger di timur, Benin di tenggara, Togo dan Ghana di selatan, dan Pantai Gading di barat daya. Burkina Faso memperoleh kemerdekaan pada 5 Mei 1960 dari Prancis. Ouagadougou adalah ibu kota sekaligus pusat administrasi dan komersial Burkina Faso. Presiden pertama Burkina Faso yaitu Maurice Yameogo, terpilih pada tahun 1960 hingga 1965. Kemudian pada tahun 1966 ia digulingkan karena pemberontakan rakyat terhadapnya, dalam kudeta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sangoule Lamizana.[12]

Apabila melihat sejarah kudeta di negara ini, tercatat telah terjadi 7 kudeta. Sehingga Burkina Faso digolongkan menjadi salah satu negara dengan pemimpin seorang militer terpanjang di Afrika. Hal ini dikarenakan pasca kemerdekaan, militer memimpin negeri itu selama lebih dari 31 tahun. Secara kronologis, berikut merupakan alur dinamika kudeta di Burkina Faso dari tahun 1960-2022:[13]

  • 25 November 1980 – Saye Zerbo menggulingkan Sangoulé Lamizana;
  • 7 November 1982 – Jean-Baptiste Ouédraogo menggulingkan Saye Zerbo;
  • 4 Agustus 1983 – Thomas Sankara dan Blaise Compaoré menggulingkan Jean Baptiste Ouédraogo;
  • 15 Oktober 1987 – Blaise Compaoré menggulingkan Thomas Sankara;
  • 16 September 2015 – Penjabat Presiden Kafando menghadapi upaya kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Gilbert Diendéré
  • 23 Januari 2022 – Presiden March Roch Kabore digulingkan Lt. Col. Paul-Henri Sandaogo Damiba.

Dalam suatu proses pelaksanaan kenegaraan, ada banyak faktor yang menimbulkan intervensi militer, salah satunya yaitu masalah kompetensi atau ketidakmampuan pemerintah dalam mengurus kepentingan rakyatnya. Adapun dalam segi militer, alasan di balik militer melakukan intervensi ke arena politik yaitu ketika terdapat perbedaan kepentingan, atau kepentingannya terancam. Kepentingannya bisa berupa komitmen keuangan atau gaji dan insentif, masa jabatan (dalam militer) antara lain ancaman terhadap integritas tentara, dan benturan-benturan kepentingan lain.

Kudeta Saye Zerbo

Kudeta militer 1980 di Burkina Faso dipimpin oleh Saye Zerbo. Rezim Zerbo adalah salah satu rezim militer berumur pendek dalam sejarah intervensi militer di negara ini. Kudeta ini berlangsung pada 25 November 1980. Zerbo bertugas di berbagai posisi di militer dan pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Presiden yang ia gulingkan, Lamizana dituduh memiliki gaya hidup mewah dan tak memperhatikan kesejahteraan rakyat. Kudeta yang dilakukan Zerbo melawan Lamizana berhasil tanpa menumpahkan darah.

Salah satu dari banyak reformasi yang diperkenalkan oleh Zerbo adalah wajib militer bagi penduduk Burkina Faso pada Mei 1981. Kebijakan ini disambut dengan demonstrasi massa oleh serikat pekerja. Kemudian Serikat pekerja dibekukan, namun tindakan ini tidak berhasil menghentikan protes. Atas tekanan ini tiga dari empat serikat pekerja Voltaïque, dalam upaya untuk lebih menyuarakan keprihatinan mereka, bertemu di Bobo-Dioulasso dan memperingatkan pemerintah agar tidak mengambil hak-hak serikat pekerja. Perlawanan dari serikat pekerja antara lain melumpuhkan rezim Zerbo dan mendorong kudeta militer revolusioner lainnya dua tahun kemudian.[14] Saat itu konflik ini dicirikan sebagai konflik antara serikat pekerja dan pemerintah sebagai akibat dari meningkatnya ketidakpuasan terhadap kondisi negara yang merampas dan menindas hak rakyat.

Kudeta Jean Baptiste

Ketidakpuasan warga yang terus menerus dan kerusuhan sipil selama rezim Zerbo mendorong kudeta lain di Burkina Faso. Kudeta yang menggulingkan Saye Zerbo dipimpin oleh Kolonel Gabriel Yoryan Somé pada 7 November 1982.  Pada tahun itu dibentuklah Dewan Keselamatan Rakyat (Conseil de Salut du Peuple (CSP)), melalui hasil perundingan militer maka Jean-Baptiste Ouédraogo kemudian diangkat sebagai Kepala Negara Burkina Faso keempat. Mayor Dr. Jean-Baptiste Ouédraogo yang lahir pada 30 Juni 1941 memerintah Burkina Faso dari 8 November 1982 hingga 4 Agustus 1983.[15]

Rezim Jean-Baptiste dimulai dengan secercah harapan dan transformasi yang cepat. Pada 27 Mei, misalnya, dia menjanjikan kembalinya pemerintahan sipil di masa depan dan pembebasan semua tahanan politik. Penjelasan yang dikemukakan oleh Ouédraogo tak lain untuk membersihkan dan memperbarui kebijakan politik dan ekonomi yang terpuruk dari rezim sebelumnya. Mereka menyatakan bahwa harus ada perubahan menuju jenis pemerintahan konstitusional baru yang diperlukan untuk membersihkan kekacauan politik.

Namun semua yang dijanjikan berbeda dalam pelaksanaannya, berbeda dengan ucapannya yang menjanjikan Burkina Faso menuju transisi ke rezim sipil dan konstitusi baru. Justru kebijakan represif rezim meningkat. Presiden Jean Baptiste dan CSP membatasi kebebasan disana dengan terus melarang partai dan organisasi politik. Hal ini menyebabkan rezim nya jauh dari harapan masyarakat pada reformasi ekonomi dan perasaan politik yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Disaat itulah muncullah tokoh baru, yaitu Thomas Sankara. Perebutan kekuasaan dan perbedaan ideologi antara Ouédraogo yang konservatif dan berorientasi barat dan Sankara radikal yang nasionalisme yang kuat membagi tentara menjadi faksi-faksi. Hal ini menyebabkan persaingan sengit yang menyebabkan pengusiran Sankara selaku Perdana Menteri pada tahun 1982 dan kemudian ditahan. Hal ini kemudian menjadi dasar dukungan untuk Sankara di kalangan tentara, dipimpin oleh Kapten Blaise Compaore, mereka merebut dan barak militer dam melakukan pemberontakan dengan menuntut pembebasan rekannya. Kemudian peristiwa inilah yang membuka jalan bagi kudeta militer lainnya yang menggulingkan rezim militer konservatif Ouédraogo pada 4 Agustus 1983.[16]

Kudeta Thomas Sankara

Kudeta militer keempat berturut-turut Burkina Faso dipimpin oleh Kapten Thomas Sankara dalam pemberontakan rakyat yang menjadi salah satu revolusi paling besar dalam sejarah Afrika. Sankara mengantongi pendidikan SMA-nya dan masuk sekolah militer Kidiogo di Kambionse. Selain itu, ia mendapat beberapa pelatihan militer di Madagaskar dan akhir 1970-an mengikuti pelatihan sebagai penerjun payung di Prancis. Konflik perbatasan Burkina Faso dengan Mali pada tahun 1974-1975, yang kemudian dikecam nya sebagai “tidak berguna dan tidak adil”, melambungkan Sankara menjadi terkenal sebagai letnan di pasukan Upper Volta.

Studi dan perjalanan ke luar negeri, menanamkan ideologi politik sayap kiri dalam dirinya. Sankara diangkat sebagai Sekretaris Negara untuk Informasi dalam rezim Saye Zerbo, namun kemudian mengundurkan diri. Perbedaan ideologi politiknya memposisikan nya bertentangan dengan kaum konservatif termasuk Jean-Baptiste Ouédraogo, yang rezim nya ia dukung untuk berkuasa dalam kudeta yang menggulingkan Presiden Saye Zerbo. Namun, ia kemudian diberhentikan sebagai perdana menteri dalam rezim Jean-Baptiste Ouédraogo. Pada tanggal 4 Agustus 1983, sebagai akibat dari penangkapannya, digerakkan nya demonstrasi militer dari pangkalan militer ke ibu kota Ouagadougou yang dipimpin oleh Blaise Compaore, demonstrasi ini dilakukan untuk menggulingkan rezim jean-Baptiste dengan dukungan pemberontakan rakyat. Hasil dari kudeta ini yaitu diangkatnya Sankara sebagai presiden Conseil National de la Révolution (Dewan Nasional Revolusi) yang baru.[17]

Sankara melambangkan kudeta yang dilakukannya sebagai democratic and popular revolution atau revolusi demokratis dan populer, untuk mengangkat massa. Dalam pidato pertamanya, Sankara menyerukan pembentukan segera Komite Pertahanan Revolusi (CDRs) untuk menyebarkan pesan dan implementasi tujuan revolusi. Pada tahun 1984, sebagai bagian dari gerakan revolusioner nya, ia mengganti nama negara dari Upper Volta menjadi Burkina Faso atau “Tanah Orang-Orang Tegak”. Dia bergabung dengan kaum tani, pekerja, dan kaum muda untuk melakukan langkah-langkah ekonomi dan sosial mendalam dan membatasi hak dan hak prerogatif aristokrasi dan saudagar kaya. Pemerintahnya mendanai pekerjaan umum untuk membangun jalan, sekolah, dan rumah. Dia juga mendirikan pengadilan revolusioner untuk mengadili mantan pemimpin dan pejabat tinggi yang dituduh korupsi. Dia memperkenalkan reformasi besar-besaran dan spektakuler di sektor pendidikan, kesehatan, sosial, pertanian dan lingkungan.[18]

Sebagai negara yang dilanda kudeta, warga menjadi waspada terhadap kebijakan Sankara. Pada bulan Mei 1984, sebuah dugaan kudeta meletus dan para tersangka komplotan kudeta diadili dan dieksekusi pada bulan Juni tahun yang sama. Melalui hal ini, mulai terbuka kembali perbedaan-perbedaan diantara para pimpinan negara. Selain berbeda aliran politikm tindakan Sankara mengeksekusi militer yang melakukan kudeta membuka jalur kudeta baru, akhirnya Sankara terbunuh dalam insiden pada 15 Oktober 1987 yang dilakukan oleh lawan politiknya. Kudeta tersebut menandai kudeta militer kelima di Burkina Faso. Itu dipimpin oleh pembantu dekat Sankara, Blaise Compaore dan perwira militer lainnya termasuk Jean-Baptiste Lingani dan Henri Zongo. Kematian Sankara mengakhiri satu fase revolusi Burkina Faso dan membuka fase kudeta militer lainnya. [19]

Kudeta Blaise Compaore

Blaise Compaoré telah memegang beberapa posisi militer mulai tahun 1978 di mana ia menjabat sebagai komandan di resimen para komando. Dia memimpin salah satu pangkalan militer disana, pangkalan yang dia gunakan untuk melancarkan pembebasan Sankara setelah penangkapannya. Hubungan antara Blaise dan Sankara, merupakan rekan dekat, namun kemudian berubah setelah keduanya memiliki pandangan yang berbeda dalam membentuk Revolusi Agustus 1983. Menurut penjelasan Compaore, faksi (Blaise, Ligani dan Zongo) berpendapat bahwa debat demokratis adalah cara terbaik untuk memajukan revolusi, sementara faksi lainnya (Sankara) menjunjung tinggi birokratisasi, militerisasi, dan penegasan kekuasaan pribadi. Persaingan sengit yang terjadi, mengakibatkan kudeta dan pembunuhan Sankara dan 12 pejabat lainnya. Kudeta itu didalangi oleh Front Populer pimpinan Blaise Compaoré, termasuk Jean-Baptiste Lingani dan Menteri Henri Zongo.[20]

Blaise mampu mempertahankan rezim yang semi-otoriter, menggabungkan demokratisasi dengan represi, untuk memastikan stabilitas politik di negara yang memiliki sejarah kudeta militer. Blaise telah menjadi presiden terlama Burkina Faso, yaitu selama 27 tahun, dengan masa akhir jabatan pada 2014 lalu. Harapan rakyat, seperti pada rezim-rezim sebelumnya masihlah menjadi harapan. Serikat pekerja, mahasiswa, dan sektor lain di negara ini menginginkan perubahan demokratis yang mendalam, untuk meningkatkan perkembangan Burkina Faso. Compaoré memerintahkan sebuah komite peninjau konstitusi untuk merancang sebuah konstitusi yang mencakup sistem multi-partai dan masa jabatan 7 tahun. Rancangan konstitusi diadopsi dalam referendum pada tahun 1991 meningkatkan beberapa partai politik yang baru dibentuk dan disahkan. Pada tahun 1992, negara ini juga mengadakan pemilihan parlemen pertama.

Namun, janji-janji akan perubahan yang selalu diulang, sama halnya yang digunakan oleh semua pemerintahan sebelumnya, tidak pernah terpenuhi, dan hal ini menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Akibat ketidakpercayaan publik ini memicu protes besar-besaran denhgan kekerasan pada tahun 2011 yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk tentara berpangkat di beberapa kota. Setelah 27 tahun berkuasa, akhirnya dipaksa untuk mengundurkan diri pada 31 Oktober 2014 setelah protes rakyat yang meluas dipicu oleh dorongan nya untuk mengubah Konstitusi untuk memungkinkan dia tetap berkuasa. Masalah sosial ekonomi yang belum dapat diselesaikan juga memicu protes. Melalui serangkaian protes ini akhirnya presiden tersebut mundur dari jabatannya dan pergi ke Pantai Gading untuk pengasingan. Setelah itu terjadilah kekosongan kekuasaan, akhirnya pemerintah sementara diangkat dengan dipimpin oleh Michel Kafando, mantan menteri luar negeri dan duta besar Burkina Faso untuk PBB.[21]

Kudeta Gilbert Diandere

Pada tahun 2015 kembali terjadi kudeta militer selama tujuh hari di Burkina Faso, kudeta ini didalangi oleh Gilbert Diendéré pada 16 September 2015. Jenderal Diendéré, merupakan pimpinan kepala Resimen Keamanan Presiden (RSP), yaitu unit tentara yang didirikan oleh Blaise Campaore. Melihat kondisi pemerintahan sementara yang lemah, Dilbert Diendere memanfaatkan pemerintahan sementara yang di pimpinan Michel Kafando untuk membubarkan pemerintahan transisi. Jenderal Gilbert Diendéré adalah ajudan Blaise Campoare, presien sebelumnya. Diandere memerintahkan bawahannya untuk menangkap tokoh-tokoh kunci dari rezim sementara dan menuntut perubahan dalam undang-undang pemilu eksklusif yang melarang pendukung Campoare untuk mencari jabatan dalam pemilu negara itu. Kudeta ini mengakibatkan tertunda nya pemilihan yang seharusnya diadakan pada Oktober 2015, namun, pemilu tetap berjalan pada November dan Roch Marc Christian Kabore terpilih sebagai presiden Burkina Faso.[22]

Kudeta militer September 2015 di Burkina Faso, dibandingkan dengan kudeta militer sebelumnya, dikatakan sebagai kudeta yang kurang berhasil karena berumur pendek dalam sejarah Burkina Faso. Para pelaku kudeta kurang mendapatkan dukungan rakyat, sehingga banyak yang mencela kudeta. Selain rakyat, Tentara juga mengancam Diendéré atas perbuatannya. Komunitas internasional, seperti Uni Afrika, PBB dan Prancis juga memberikan tekanan pada para pemimpin kudeta untuk menyerahkan kekuasaan dan membiarkan pemerintahan transisi berlanjut. Negosiasi yang dilakukan akhirnya memulihkan pemerintahan transisi dan Kafando diangkat kembali sebagai pemimpin sementara pada 24 September 2015.

Kudeta Militer Atas Presiden Roch Kabore Tahun 2022 di Burkina Faso

Pada Januari 2022 kembali terjadi kudeta militer di negara Burkina Faso, kudeta ini didalangi oleh Letnan Kolonel Paul Henri Sandaogo Damiba pada 23 Januari lalu terhadap pemerintahan Roch Kabore. Presiden Roch Kabore merupakan presiden terpilih Burkina Faso pada tahun 2015 lalu, kemudian kembali memenangkan pemilihan umum pada 2020. [23] Sebelum menjadi presiden, ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Burkina Faso antara tahun 1994 dan 1996 dan Presiden Majelis Nasional Burkina Faso dari tahun 2002 hingga 2012. Ia juga menjabat sebagai Presiden Kongres untuk Demokrasi dan Kemajuan (CDP). Selama menjabat sebagai presiden, ia dianggap tidak mampu memberikan kesejahteraan dan rasa aman kepada warga negara, dan juga banyak masalah internal lainnya. Sehinga akhirnya dilakukan kudeta oleh Letnan Paul Hendri Sandaogo. Sandaogo merupakan bagian dari Resimen Keamanan Presiden (RPS) mantan presiden Blaise Compaore sejak 1987 hingga 2011, yang kemudian digulingkan pada 2014 setelah ratusan ribu orang turun ke jalan sebagai protes atas rencana perpanjangan kekuasaannya. Unit tersebut kemudian dibubarkan oleh pemerintah transisi, pada tahun pemerintahan 2015. Pembubaran ini menjadi langkah yang menimbulkan perpecahan dan kebencian di antara beberapa perwira tinggi militer.

Kudeta yang dilakukan Letnan Sandaogo bukan merupakan kali pertama dilakukan, saat kudeta tahun 2015 ia juga sempat ikut bersama barisan militer untuk mengganggu pemerintahan transisi. Namun setelah mengalami kegagalan dalam peristiwa tersebut, Sandaogo meninggalkan negara Burkina Faso untuk melanjutkan studi militer lebih lanjut di luar negeri. Sekembalinya, ia memimpin RCAS 30, yaitu sebuah resimen yang bertugas mendukung strategi kontraterorisme Burkina Faso. Pada tanggal 3 Desember, Kabore mempercayakan Sandaogo untuk melindungi ibukota Ouagadougou dari ancaman yang ditimbulkan oleh pemberontakan agama.[24]

Adapun dalam kudeta yang dilakukan oleh Letnan ini banyak didukung oleh rakyat Burkina Faso. Julienne Traore seorang guru sekolah disana, dalam BBCNews mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Letnan Sandaogo bukanlah kudeta, melainkan “It’s the liberation of a country, which was being governed by people who were incompetent,” ia mengumpamakan kudeta tersebut sebagai upaya pembebasan sebuah negara atau negara Burkina Faso dari pemerintahan orang-orang yang tidak kompeten. Pandangan serupa juga diberikan oleh banyak masyarakat yang mendukung Sandaogo dalam perayaan pergantian rezim tersebut.[25] Reaksi dari komunitas internasional tentu berbeda, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk keras kudeta militer yang dilakukan di negara itu. Ia meminta para milisi untuk meletakkan senjata mereka dan untuk melindungi integritas fisik Presiden Roch Marc Kaboré.[26] Untuk menanggapi hal ini, Letnan Sandaogo dan kelompoknya memberitakan bahwa mereka memperlakukan mantan presiden Roch Kabore dengan baik dalam masa transisi tersebut, juga telah mengizinkan Roch Kabore untuk keluar dari tahanan rumah pada Selasa 6 April 2022.[27]

Analisis Faktor Penyebab Kudeta Militer Tahun 2022 di Burkina Faso

Negara harus memberikan keamanan pada masyarakat, baik dalam segi ekonomi, politik, pangan, lingkungan, dan juga keamanan individual. Ini merupakan prinsip mendasar yang harus dipenuhi negara kepada para warga yang tinggal didalamnya. Namun, hal ini masih sulit untuk dicapai, terutama jika melihat dalam studi negara-negara kawasan Afrika Barat, salah satunya yaitu Burkina Faso. Sejak mendapat kemerdekaan dari Prancis, seperti penjelasan yang terdapat pada bagian-bagian sebelumnya, negara ini terus dilanda konflik-konflik kepentingan yang berakhir dengan pergantian rezim melalui kudeta. Dalam tiap peristiwa kudeta yang terjadi, barang tentu kepentingan warga negara menjadi taruhannya. Pola-pola yang mendasari kudeta di negara Burkina Faso ini juga hampir selalu sama, dimana militer mengambil-alih kekuasaan melalui intervensi. Terjadinya intervensi ini dilatari oleh perbedaan kepentingan, terjadinya korupsi dalam politik, kurangnya lapangan pekerjaan yang menimbulkan pengangguran massal, dan berbagai masalah internal lainnya yang belum bisa diselesaikan.

Namun dalam kudeta 23 Januari lalu, motif dari penggulingan kekuasaan oleh militer ini sedikit berbeda. Ada salah satu isu yang nampaknya menjadi perhatian Sandaogo selaku pimpinan kudeta, yaitu permasalahan dimana negara tidak mampu memberikan keamanan bagi warga negara dari ancaman-ancaman para kelompok ekstremis yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda dan Da’ish (Islamic State atau ISIS). [28] Ancaman serangan oleh para ekstremis yang terkait dengan al Qaeda dan ISIS telah menewaskan ribuan orang, dan mengakibatkan terlantarnya sekitar 1,5 juta orang di Burkina Faso sejak 2015. Terutama di bagian utara dan timur Burkina Faso, wilayah yang bergejolak dekat dengan Nigeria dan Mali rentan terhadap serangan teroris oleh Nusrat al-Islam (cabang Al Qaeda) dan kelompok ISIS di Greater Sahara. Sekitar tahun 2015 dan 2018, serangan teroris menargetkan ibukota Ouagadougu dan basis-basis pertahanan Burkina Faso. Sebagian besar serangan oleh kelompok ini menargetkan desa-desa pinggiran di wilayah timur hingga menewaskan sekitar 2000 orang baik dari kalangan sipil dan anggota militer pada 2020 lalu. Hal ini menyebabkan penduduk ketakutan dan melakukan perpindahan massal. Secara rentang waktu, berikut merupakan alur dinamika kekerasan oleh kelompok ekstremis atau jihadis di Burkina Faso: [29]

  • Pada 15 Januari 2016, 30 orang tewas dalam serangan teroris yang dilakukan oleh al Qaeda di Maghreb Islam di Hotel Splendid dan restoran Cappuccino di Ouagadougou. Banyak dari korban adalah ekspatriat Barat.
  • Pada 2 Maret 2018, delapan kematian di antara pasukan keamanan dilaporkan setelah serangan yang menargetkan kedutaan Prancis dan Angkatan Bersenjata Burkinabe.
  • Pada 1 Januari 2019, kelompok etnis Fulani, yang dituduh memiliki hubungan dengan kelompok teroris, menjadi sasaran etnis Mossi, dan etnis lain sehingga terjadi penyerangan yang menewaskan 72 orang suku tersebut, menurut perkiraan resmi. 6.000 lainnya terpaksa mengungsi.
  • Pada 19 Agustus 2019, 24 tentara tewas dalam serangan di pangkalan militer di Koutougou di utara negara Burkina Faso. Tentara menjadi sasaran lagi pada bulan Desember dalam serangan berikutnya oleh teoris bersenjata berat di sekitar kota Arabinda, sebuah kota dekat perbatasan dengan Mali.
  • Pada 25 Januari 2020, 39 warga sipil dibunuh di pasar desa Silgadji di utara negara Burkina Faso. Sekitar 40 warga sipil terbunuh seminggu sebelumnya di desa-desa dekat Nagraogo dan Alamou.
  • Pada Maret hingga Juni 2021, serangkaian pemberontakan mengguncang ibu kota Burkinabe: 566 tentara dinonaktifkan dan seorang panglima militer baru dicalonkan oleh presiden.
  • Pada 5 Juni 2021, setidaknya 160 orang tewas dalam aksi serangan teroris tersebut. Banyak korban adalah anggota Relawan yang membantu pertahanan negara.
  • Pada 14 November 2021, 57 orang tewas dalam serangan di kantor polisi di Inata, 54 di antaranya adalah anggota polisi.[30]

Atas serangkaian serangan-serangan yang dilakukan kelompok ekstremis yang mengancam, tentu warga negara yang menjadi merasa tidak aman dalam beraktifitas. Hal ini juga menunjukkan ketidakmampuan negara, khususnya pemerintahan Roch Kabore dalam mengatasi ancaman-ancaman serangan terorisme atau ekstremisme. Ini merupakan salah satu alasan dari Letnan Sandaogo melakukan kudeta di Burkina Faso pada Januari awal tahun 2022 lalu. Selain faktor dari korupsi dalam politik, dan ketidakmampuan memberikan kesejahteraan kepada rakyat baik dalam ekonomi, sosial, dan berbagai sektor lainnya. Fenomena ini sejalan dengan alur pikiran Armos Perlmutter dalam melihat dua kondisi yang mengakibatkan militer untuk melakukan intervensi dalam pemerintahan, yaitu: kondisi sosial dan politik suatu negara itu sendiri. Pertama, kondisi sosial. Dalam suatu negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi politik tidak berfungsi efektif. Dengan demikian kontrol sosial menjadi tidak efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, kemudian membuat militer berkesempatan untuk melakukan intervensinya. Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Seringkali pemerintah sipil sengaja merapat kepada militer untuk mencari dukungan. Ketika struktur politik sipil terfragmentasi dengan militer, maka akan muncul faksi-faksi politik ketika perangkat konstitusi tidak berjalan semestinya. Hal ini dapat dilihat dalam kondisi sosial masyarakat Burkina Faso, sebagai negara yang masuk dalam ketegori miskin diantara negara miskin kawasan Afrika Barat, kondisi ini diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi ancaman kelompok-kelompok teroris sehingga menyebabkan korban jiwa.

Kesimpulan

Pada Januari 2022 kembali terjadi kudeta militer di negara Burkina Faso, kudeta ini didalangi oleh Letnan Kolonel Paul Henri Sandaogo Damiba pada 23 Januari lalu terhadap pemerintahan Roch Kabore. Presiden Roch Kabore merupakan presiden terpilih Burkina Faso pada tahun 2015 lalu, kemudian kembali memenangkan pemilihan umum pada 2020. Adapun dalam kudeta yang dilakukan oleh Letnan ini banyak didukung oleh rakyat Burkina Faso. Dalam kudeta 23 Januari lalu, motif dari penggulingan kekuasaan oleh militer ini sedikit berbeda. Ada salah satu isu yang nampaknya menjadi perhatian Sandaogo selaku pimpinan kudeta, yaitu permasalahan dimana negara tidak mampu memberikan keamanan bagi warga negara dari ancaman-ancaman para kelompok ekstremis yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda dan Da’ish (Islamic State atau ISIS). Ancaman serangan oleh para ekstremis yang terkait dengan al Qaeda dan ISIS telah menewaskan ribuan orang, dan mengakibatkan terlantar nya sekitar 1,5 juta orang di Burkina Faso sejak 2015.  Selain itu, faktor terjadinya kudeta ini dilatari oleh perbedaan kepentingan, terjadinya korupsi dalam politik, kurangnya lapangan pekerjaan yang menimbulkan pengangguran massal, dan berbagai masalah internal lainnya yang belum bisa diselesaikan presiden Roch Kabore.

References

[1] “Kudeta Di Burkina Faso, Militer Putuskan Kekuasaan Presiden Tamat,” www.jpnn.com, January 25, 2022, https://www.jpnn.com/news/kudeta-di-burkina-faso-militer-putuskan-kekuasaan-presiden-tamat.

[2] “Burkina Faso Geography,” CountryReports, accessed April 6, 2022, https://www.countryreports.org/country/BurkinaFaso/geography.htm.

[3] Kenneth Kimutai too, “Largest Ethnic Groups in Burkina Faso,” WorldAtlas (WorldAtlas, June 7, 2018), https://www.worldatlas.com/articles/largest-ethnic-groups-in-burkina-faso.html.

[4] “Burkina Faso Population 2022 (Live),” Burkina Faso Population 2022 (Demographics, Maps, Graphs), accessed April 6, 2022, https://worldpopulationreview.com/countries/burkina-faso-population.

[5] “Burkina Faso Country Profile,” BBC News (BBC, January 25, 2022), https://www.bbc.com/news/world-africa-13072774.

[6] Edward P. Thompson. 1981. The Making of The English Working Class, dalam Eric A. Nordlinger. 1994. Soldiers and Politics (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 113-114.

[7] AfricaNews, “1960 – 2022: The Long History of Coups D’état in Burkina Faso,” Africanews (Africanews, January 25, 2022), https://www.africanews.com/2022/01/25/1960-2022-the-long-history-of-coups-d-etat-in-burkina-faso//.

[8] Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4

[9] A. Malik Haramain, Gus Dur, militer, dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 330- 331.

[10] Amos Perlmutter, Militer dan Politik, h. 144-145

[11] S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics (Colorado: Westview Press, 2002) h. 20-24.

[12] “Burkina Faso Geography,” CountryReports, accessed April 6, 2022, https://www.countryreports.org/country/BurkinaFaso/geography.htm.

[13] AfricaNews, “Burkina Faso: De 1960 à 2022, Une Histoire Jalonnée De Coups D’etat,” Africanews (Africanews, January 25, 2022), https://fr.africanews.com/2022/01/25/burkina-faso-de-1960-a-2022-une-histoire-jalonnee-de-coups-d-etat/.

[14] Daniel Miles McFarland, Historical Dictionary of Burkina Faso, pp. 90. https://www.sahistory.org.za/sites/default/files/file%20uploads%20/daniel_miles_mcfarland_historical_dictionary_of_book4you.pdf

[15] Daniel Miles McFarland, Historical Dictionary of Burkina Faso, pp. 92. https://www.sahistory.org.za/sites/default/files/file%20uploads%20/daniel_miles_mcfarland_historical_dictionary_of_book4you.pdf

[16] Elliott P. Skinner, “Sankara and the Burkinabe Revolution: Charisma and Power, Local and External Dimensions” The Journal of Modern African Studies, Vol. 26, No. 3, Sep., 1988, pp. 441. doi:10.1017/S0022278X0001171X

[17] Godfrey Mwakikagile, Military Coups in West Africa Since the Sixties, New York, Nova Science Publishers, 2001, pp. 19.

[18] Prairie, Thomas Sankara Speaks: The Burkina Faso Revolution 1983-1987, pp. 20. https://doi.org/10.1177/030639688903100220

[19] Daniel Miles McFarland, Historical Dictionary of Burkina Faso, pp. 108. https://www.sahistory.org.za/sites/default/files/file%20uploads%20/daniel_miles_mcfarland_historical_dictionary_of_book4you.pdf

[20] “The Chronology of Military Coup d … – Dergipark.org.tr,” accessed April 6, 2022, https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/844858.

[21] Adam Nossiter, “Protesters Demand President’s Ouster in Burkina Faso,” The New York Times (The New York Times, April 30, 2011), https://www.nytimes.com/2011/05/01/world/africa/01burkina.html.

[22] “How the People of Burkina Faso Foiled a Military Coup,” The Guardian (Guardian News and Media, September 25, 2015), https://www.theguardian.com/world/2015/sep/25/burkina-faso-foiled-military-coup.

[23] FRANCE 24, “Burkina Faso’s Kaboré Wins Re-Election, According to Full Preliminary Results,” France 24 (France 24, November 26, 2020), https://www.france24.com/en/africa/20201126-burkina-s-kabor%C3%A9-wins-re-election-according-to-full-preliminary-results.

[24] Al Jazeera, “Who Is Paul-Henri Damiba, Leader of the Burkina Faso Coup?,” Military News | Al Jazeera (Al Jazeera, January 25, 2022), https://www.aljazeera.com/news/2022/1/25/burkina-faso-coup-leader-paul-henri-sandaogo-damiba.

[25] “Who Is Burkina Faso Coup Leader Lt-Col Damiba?,” BBC News (BBC, January 26, 2022), https://www.bbc.com/news/world-africa-60141195.

[26] CNEWS avec AFP, “Coup D’etat Au Burkina Faso : CE Que L’on Sait,” CNEWS (CNews, January 25, 2022), https://www.cnews.fr/monde/2022-01-24/coup-detat-au-burkina-faso-ce-que-lon-sait-1174732.

[27] Person, “Burkina Faso Ex-President Roch Kabore Allowed out of Detention,” Reuters (Thomson Reuters, April 6, 2022), https://www.reuters.com/world/africa/burkina-faso-ex-president-roch-kabore-allowed-out-detention-2022-04-06/.

[28] “Another Domino Falls to the Military,” Another domino falls to the military | Article Preview | Africa Confidential, accessed April 7, 2022, https://www.africa-confidential.com/article-preview/id/13781/Another_domino_falls_to_the_military.

[29] David GORMEZANO, “Burkina Faso: A History of Destabilisation by Jihadist Insurgencies,” France 24 (France 24, January 25, 2022), https://www.france24.com/en/africa/20220125-burkina-faso-a-history-of-destabilisation-by-jihadist-insurgencies.

[30] David GORMEZANO, “Burkina Faso: A History of Destabilisation by Jihadist Insurgencies,” France 24 (France 24, January 25, 2022), https://www.france24.com/en/africa/20220125-burkina-faso-a-history-of-destabilisation-by-jihadist-insurgencies.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *