Arah Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Masa Kepemimpinan Trump
Dalam pidato kebijakan luar negeri pertamanya Trump menyatakan bahwa: “Kebijakan luar negeri saya akan selalu menempatkan kepentingan rakyat Amerika dan keamanan Amerika di atas segalanya.” Pertama, ia melihat bahwa militer AS melemah oleh ekonomi AS yang lemah. Oleh ekonomi yang lemah ia mengidentifikasi defisit perdagangan dengan dunia dan negara-negara tertentu. Dia ingin mengurangi dan membalikkan defisit tersebut. Kedua, ia berpendapat bahwa sekutu AS tidak membayar bagian yang adil dalam aliansi militer. Dia secara khusus menunjuk ke negara-negara NATO dimana hanya empat dari dua puluh delapan negara yang menghabiskan setidaknya dua persen dari PDB mereka untuk pertahanan. Dia ingin membalikkan beban yang tidak adil ini pada AS. Akhirnya, ia berpendapat AS tidak lagi memiliki kejelasan dalam hal tujuan kebijakan luar negerinya sejak Perang Dingin berakhir. Ketidakjelasan ini mengharuskan AS untuk mengembangkan rencana dalam rangka “mengembangkan kebijakan luar negeri berdasarkan kepentingan Amerika.” Hal tersebut didasarkan pada slogannya yakni ”Make America Great Again” dan “America First”.
Menanggapi hal tersebut, dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden, Trump menerapkan beberapa kebijakan luar negeri seperti pembangunan tembok di perbatasan Meksiko, larangan perjalanan untuk beberapa negara mayoritas Muslim, penarikan Amerika Serikat dari Pakta Iklim Paris, serta menarik diri dari Kemitraan Trans-Pasifik.[5] Trump lebih suka kesepakatan bilateral, di mana Amerika Serikat biasanya adalah mitra yang lebih kuat, sedangkan pada perjanjian multilateral kekuasaannya diimbangi oleh banyak negara lain.[6] Pandangan Trump yang terfokus pada peningkatan ekonomi Amerika Serikat terlihat dari upayanya melakukan fair trade dengan cara mengutamakan kerjasama bilateral. Dia juga beranggapan bahwa kerjasama Amerika Serikat dengan Korea Selatan selama ini sama sekali tidak menguntungkan mereka, padahal jika dilihat secara rasional kerjasama tersebut seimbang karena AS dapat membangun basis militer disana dengan leluasa akan tetapi Trump cenderung menolak gagasan tersebut.[7] Fokus Trump sama sekali tidak menggunakan soft power dalam hal memajukan kepentingan AS. Dia juga lebih terbuka dalam menyuarakan pendapatnya kepada pemimpin dunia lainnya, hal tersebut kita lihat melalui peristiwa War of Words dengan Korea Utara yakni ketika dia dengan Kim Jong Un mengancam satu sama lain untuk meluncurkan rudal balistik ke negara mereka.[8] Trump juga tidak tertarik untuk memajukan hak asasi manusia dan demokrasi, hal tersebut tercermin dari kebijakannya yang kontroversial yakni Kebijakan Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into The United States yang melarang beberapa negara Timur Tengah untuk mengakses Amerika Serikat karena takut dengan potensi ancaman teroris yang dimiliki oleh negara-negara tersebut.
Metode revolusionernya dalam menangani masalah kebijakan luar negeri adalah kejutan politik terhadap sistem yang berdiri sangat kontras dengan pendekatan para pendahulunya, yang lebih memilih untuk tidak menyimpang dari jalur tradisional.[9]
Analisis Idiosinkrasi Donald Trump
Idiosinkratik Donald Trump mengacu pada karakteristik individu yang dimiliki oleh seorang pemimpin ketika merumuskan suatu kebijakan. Dalam hal ini, peneliti menganalisis mengenai idiosinkratik Trump yang dilihat dari kepribadian politik, gaya kepemimpinan, dan gaya pembuatan keputusannya. Kepribadian politik adalah gambaran psikologis secara menyeluruh dari individual pembuat keputusan. Berdasarkan empat tipe kepribadian yang terdiri dari ego-defense, narcissist, obsessive compulsive, dan paranoid personality, Trump termasuk ke dalam tipe kepribadian yang kedua yakni tipe kepribadian narcissist atau narsisis yang merupakan individu dengan tingkat kepercayaan terhadap diri sendiri sangat tinggi. Tipe kepribadian ini sesuai dengan kepribadian Trump yang berambisi tinggi dalam merombak kebijakan luar negeri Indonesia serta rasa percaya diri yang tinggi. Hal tersebut dapat kita lihat dari tindakannya yang langsung mengimplementasikan kebijakan luar negeri berdasarkan perspektifnya tanpa mengikuti haluan terdahulu, segera setelah ia menjabat sebagai presiden. Trump juga dengan percaya diri menyatakan bahwa ekonomi AS akan meningkat sangat pesat bahkan setelah di berhenti menjabat di kuartal selanjutnya, sikap ini mencerminkan sisinya yang narsisis.[10]
Analisis kedua tentang idiosinkratik Trump terletak pada gaya kepemimpinannya (leadership style). Berdasarkan tujuh dimensi kepribadian yang ada, yakni: keyakinan seseorang dapat memberikan pengaruh atau mengontrol apa yang terjadi, pengaruh yang dimiliki serta kebutuhannya akan kekuasaan, kepercayaan diri, kompleksitas konseptual, kecenderungan untuk fokus dalam pemecahan masalah dan mencapai sesuatu yang berkaitan dengan ide serta kepekaan terhadap individu lain, ketidakpercayaan umum atau kecurigaan terhadap individu lain, dan intensitas dimana seseorang memegang bias kendali dalam kelompok. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa gaya kepribadian pemimpin yang dimiliki Trump adalah Crusader Expansionist. Gaya kepemimpinan crusader expansionist merupakan tipe seorang individu yang tidak ingin kehilangan kendali yang dimiliki. Berkeinginan untuk memiliki kendali yang besar (high need for power), memiliki kemampuan yang rendah adanya beberapa alternatif pilihan dalam pembuatan keputusan (low conceptual complexity), punya rasa nasionalisme yang tinggi pada negaranya (high nationalism), serta tidak mementingkan arti hubungan pertemanan (low need for affiliation). [11]Gaya kepemimpinan Trump terlihat ketika Trump melakukan perombakan secara menyeluruh terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat tanpa mengikuti tindakan yang dilakukan oleh pendahulunya. Tindakan tersebut diperjelas dengan Trump yang merasa bahwa AS tidak membutuhkan relasi yang tidak menguntungkan bagi mereka berbeda dengan presiden terdahulu yang selalu menjaga relasi antarnegara terutama di dalam kerjasama multilateral. Rasa nasionalisme Trump yang tinggi juga terbukti dari motivasinya untuk meningkatkan perekonomian AS secara signifikan di tahun pertama penugasannya.
Analisis idiosinkratik selanjutnya adalah decision making style atau gaya pembuat keputusan. Kepribadian politik Trump yang narsisis dengan gaya kepemimpinan crusader expansionist berpengaruh terhadap gaya pembuat keputusan Trump. Terdapat dua karakteristik dalam gaya pembuat keputusan, yaitu situational characteristic dan problem characteristic. Berdasarkan kedua karakteristik gaya pembuat keputusan tersebut, Trump termasuk ke dalam gaya pembuat keputusan situational characteristic. Dalam hal ini, lingkungan berpengaruh terhadap individu. Gaya pembuat keputusan situational characteristic Trump didasarkan pada faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya, informasi dan konsekuensi perilaku diproses oleh individu yang pada gilirannya mempengaruhi respon terhadap kondisi lingkungan tersebut. Hal ini kemudian relevan dengan adanya persepsi ancaman, tekanan, hingga keinginan Trump untuk memproyeksikan gambaran tertentu, sifat dan opini yang dirasakan dalam menganalisis situasi. Seperti halnya kondisi Amerika Serikat yang tidak mengalami perkembangan signifikan yang dipengaruhi oleh kelembaman kebijakan luar negerinya selama beberapa dekade terakhir sebelum Trump menjabat.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa dengan kepercayaan dirinya yang tinggi Trump berencana untuk membawa Amerika Serikat menuju ke era berjayanya AS sebagai negara adidaya tanpa bergantung pada kerjasama multilateral. Sudut pandangnya sebagai seorang pebisnis real estate juga sangat berpengaruh dalam proses perumusan keputusan. Hal tersebut sempat penulis sebutkan tadi tentang ketimpangan pertukaran antara kerjasama AS dengan Korea Selatan yang hanya Trump lihat dari sisi ekonomi. Terutama, kebijakan Amerika Serikat yang lebih terfokus kepada peningkatan ekonomi sebagai solusi terhadap lemahnya angkatan militer. Cara pandang Trump terhadap sisi ekonomi negara Amerika Serikat mematahkan tradisi-tradisi pemimpin terdahulu. Trump merasa bahwa AS yang pada dasarnya merupakan negara adidaya tidak butuh untuk bermain lebih lanjut dalam kerjasama multilateral untuk segera mencapai tujuan yang diinginkan.
Kesimpulan
Donald Trump merupakan pemimpin dengan karakteristik narsistic dan crusader expansionist. Hal tersebut ditunjukan oleh sikap, penilaian, dan perilakunya dalam mengimplementasikan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan fokus kepada ekonomi untuk menyokong pendanaan pertahanan nasional AS. Kepribadian narsisisnya terlihat dari kepercayaannya yang tinggi terhadap kemampuannya dalam mendorong perekonomian dari Amerika Serikat tanpa bergantung pada kerjasama multilateral. Kebutuhan atas kekuatannya yang tinggi terlihat pada dominasi terkait dengan kerjasama internasional. Trump sangat percaya pada kekuatan AS pada skema kebijakan bilateral karena AS akan mendapatkan pertukaran yang setara dengan dominasi atas kerjasama dengan kekuatan yang dimiliki, berbeda dengan kerjasama multilateral yang mengkerdilkan posisi AS dalam prosesnya. Donald Trump juga tanpa keraguan, berani melakukan kecaman secara terbuka dengan sikap permusuhan terhadap mereka yang memiliki kedudukan atau kekuasaan yang mencoba menghalangi jalannya, seperti kasus War of Word dengan Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara. Pada akhirnya, sudut pandang Trump sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai seorang pengusaha real estate dalam merumuskan kebijakan terutama berkaitan dengan ekonomi.
Referensi
[1] “Donald Trump: Presidency, Family, Education – HISTORY”, Inside History, November 18, 2016, https://www.history.com/topics/us-presidents/donald-trump
[2] Ibid
[3] “Donald Trump, Impeachment, Presidency, & Education – Biography”, Biography.com, April 16, 2018, https://www.biography.com/us-president/donald-trump
[4] “Donald Trump: Presidency, Family, Education – HISTORY”, Inside History, November 18, 2016, https://www.history.com/topics/us-presidents/donald-trump
[5] Ibid
[6] Klaus W. Larres, “Trump’s foreign policy is still ‘America First’ – what does that mean, exactly?”, The Conversation, August 27, 2020, https://theconversation.com/trumps-foreign-policy-is-still-america-first-what-does-that-mean-exactly-144841
[7] David Schultz, “American Foreign Policy in the Age of Donald Trump”, Lithuanian Annual Strategic Review, Vol. 17, 2019 p. 32-34, https://www.researchgate.net/publication/341919950_American_Foreign_Policy_in_the_Age_of_Donald_Trump
[8] “Trump’s Foreign Policy Moments”, Council on Foreign Relations, diakses pada 20 Juli 2021, https://www.cfr.org/timeline/trumps-foreign-policy-moments
[9] Raul Baker, “Donald Trump’s Revolutionary Foreign Policy”, Begin-Sadat Center for Strategic Studies, February 7, 2021, https://besacenter.org/trump-foreign-policy/
[10] Ians, “Donald Trump: Trust me, economy will soar in 2021”, The Bridge Chronicle, May 24, 2020, https://www.thebridgechronicle.com/world/donald-trump-trust-me-economy-will-soar-2021-50552
[11] Christine Maria Masniari, “Analisis Model Teori Idiosinkratik Terhadap Kebijakan Luar Negeri Perdana Menteri John Howard (1996-2007) dalam Imigran Gelap di Australia”, Binus University, November 19, 2018, https://ir.binus.ac.id/2018/11/19/analisis-model-teori-idiosinkratik-terhadap-kebijakan-luar-negeri-perdana-menteri-john-howard-1996-2007-dalam-imigran-gelap-di-australia/
[12] Dinda Arumsari Laksono, “Pengaruh Idiosinkratik Shinzo Abe Terhadap Upaya Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Dari Pasifisme Idealis Menjadi Pasifisme Proaktif”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3 (2018), p. 60, https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/download/27207/23817
[13] Ibid, p. 60-61