Konten ini awalnya ditulis untuk program sarjana atau magister. Ini diterbitkan sebagai bagian dari misi kami untuk menampilkan makalah yang dipimpin oleh rekan yang ditulis oleh mahasiswa selama studi mereka. Karya ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan latar belakang dan penelitian, tetapi sebaiknya tidak dikutip sebagai sumber ahli atau digunakan sebagai pengganti artikel/buku ilmiah.
oleh: Ahmad Ghufran Akbar
Tulisan ini akan membahas tentang isu-isu yang menjadi fokus negosiasi dalam menjalin kerjasama antara Indonesia dengan Australia melalui IA-CEPA dimulai dari kasus-kasus yang berkaitan antara satu sama lain dari kedua belah negara serta keuntungan yang akan di dapatkan masing-masing negara setelah proses negosiasi Untuk memahami segala aspek permasalahan, tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dalam menemukan dan menjelaskan semua informasi terkait yang didapatkan penulis. Secara jelas, penulis menggunakan perspektif issue linkage untuk memahami isu-isu yang menjadi fokus negosiasi dalam menjalin kerjasama antara Indonesia dengan Australia melalui IA-CEPA.
Pendahuluan
Awal mula munculnya IA-CEPA pada tahun 2005 setelah Indonesia dan Australia sepakat untuk berunding membahas mengenai kerjasama perekonomian kedua negara melalui Joint Declaration Comprehensive Partnership. Hasil dari perundingan berlanjut hingga tahap Joint Feasibility Study yang dilaksanakan pada tahun 2007 dengan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta, dan akademisi guna melakukan kajian serta analisis terkait peluang dan hambatan yang akan terjadi. Setelah pembahasan mengenai analisis selesai, Indonesia – Australia yang diwakilkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Julia Gillard sepakat untuk melakukan negosiasi pada tahun 2010. Dalam negosiasi tersebut terdapat poin – poin penting yang menjadi acuan utama bagi kedua pihak dalam negosiasi IA-CEPA.
Dalam pengembangannya, negosiasi kerjasama sempat terhenti pada tahun 2013 karena kondisi hubungan politik yang fluktuatif. Meskipun demikian, pada akhirnya Indonesia dan Australia sepakat untuk melakukan reaktivasi di 2016 yang bertujuan memberikan kontribusi dalam membangun ekonomi yang lebih maju dan menciptakan kerjasama yang menguntungkan bagi kedua negara. Untuk mencapai tujuan tersebut, negosiasi IA- CEPA dibangun atas dasar prinsip-prinsip dalam Guiding Principles and Objectives. Dalam penelitian ini penulis akan berusaha menjelaskan mengenai alasan mengapa Australia ingin menjalin kembali kerjasama yang sebelumnya sempat terhenti pada tahun 2013?
Kerangka Pemikiran
Issue Linkage
Issue-linkage adalah kerjasama dengan cara membarter isu. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan pertama, kita harus menentukan aktor-aktor siapa saja yang menjadi linker dan linkee. Linker adalah pihak yang memberikan tawaran suatu ranah isu untuk bisa ‘dibarter’ dengan ranah isu yang menjadi kepentingan pihak linkee. Sementara itu, linkee adalah pihak yang ditawari bentuk kompensasi oleh pihak linker yang umumnya kepentingan linkee akan dapat tereduksi dan tergantikan dengan adanya kompensasi tadi. Kedua, kita harus kepentingan apa yang dibawa oleh kedua pihak tersebut (linker dan linkee). Ketiga, kita harus melihat keuntungan yang didapat apakah absolut ataupun relatif.[1]
Dalam hal ini penulis akan berusaha menjelaskan mengenai kepentingan yang dibawa oleh Australia sebagai linker terkait dengan berbagai issue politik seperti penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah Australia terhadap pemerintah Indonesia dan eksekusi mati warga negara Australia oleh pemerintah Indonesia serta menjelaskan keuntungan yang didapat Australia sebagai linker apakah relative gain atau absolut gain dalam hubungan kerjasama IA-CEPA yang disepakati oleh kedua negara.
Hasil dan Pembahasan
Penyadapan Australia terhadap Indonesia
Sejak kasus pembocoran penyadapan yang dipublikasikan oleh mantan kontraktor NSA (National Security Agency) Amerika Serikat bernama Edward Snowden pada pertengahan tahun 2013. Snowden membocorkan semua data penyadapan yang diketahuinya selama bekerja di NSA dalam sebuah film dokumenter. Dengan memberikan data-data yang terkait penyadapan yang telah dilakukan oleh aliansi intelijen tersebut. Penyadapan telah dilakukan terhadap 35 kepala negara di dunia, seperti Brazil, Jerman, Perancis, termasuk juga Indonesia[2]. Dalam temuannya, aliansi NSA dan badan intelijen Australia bekerja sama untuk melakukan penyadapan terhadap petinggi-petinggi negara di Indonesia. Pembocoran isu tersebut disertai dengan berbagai bukti yang menunjukkan adanya enam lembar dokumen berisi data pribadi sembilan warga negara Indonesia lengkap dengan cara penyadapannya. Berbagai informasi seperti nama, jabatan, serta keterangan sinyal dan jenis telepon genggam yang digunakan. Laporan yang dibocorkan tersebut adalah milik dari Kementerian Pertahanan Australia (Departement of Defence).
Sebagai respons protes terhadap kasus penyadapan tersebut, Pemerintah Indonesia menghentikan semua kerjasama bilateral dengan Australia untuk sementara waktu. Presiden juga menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, serta meminta klarifikasi kepada Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, terkait kasus yang terjadi. Kebijakan yang diambil Indonesia mengganggu stabilitas keamanan dan hubungan bilateral kedua negara, namun penyadapan merupakan ancaman kedaulatan yang menjadi prioritas politik luar negeri pemerintahan Presiden SBY. Dalam hal ini Australia berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan Indonesia sebagai mitra pentingnya.
Kasus Duo Bali Nine 2015
Pada April 2005, kasus Bali Nine mencuat ke publik. Bali Nine adalah julukan yang dibuat oleh media bagi 9 warga negara Australia yang ditangkap atas kasus penyelundupan heroin. Persidangan dilakukan pada bulan September 2005 hingga Februari 2006 dan menjatuhkan vonis berbeda-beda. Hukuman paling berat dijatuhkan kepada Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, yang mana divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Berbagai prosedur hukum telah dilakukan guna mengubah putusan tersebut, mulai dari mengajukan banding, kasasi, grasi, hingga pengkajian ulang, namun semua usaha tersebut tidak membuahkan hasil sehingga pada akhirnya eksekusi mati tetap dilakukan pada 29 April 2015 oleh regu tembak.
Sebelumnya Australia telah berusaha melakukan negosiasi dengan Indonesia untuk melakukan penukaran tahanan 3 WNI terpidana kasus narkoba di Australia untuk di tukar dengan Andrew dan Myuran. Mereka adalah Saud Siregar, Kristito Mandagi, dan Ismunandar, yang melakukan penyelundupan 390 kg heroin di Port Macquarie pada 1998. Selain itu, pada Maret 2015, Grand Mufti Australia, Dr. Ibrahim Abu Mohamed, dan beberapa ulama Australia pergi ke Indonesia untuk meminta dukungan dari NU dan Muhammadiyah. [3]Namun hanya dapat bertemu dengan Menteri Agama Indonesia, ulama berusaha membujuk agar kedua terpidana mati Bali Nine dibebaskan dari vonis hukuman mati untuk diampuni serta direhabilitasi. Meski begitu, Grand Mufti tetap menghormati proses hukum yang berjalan di Indonesia.
Prevent Terrorism
Seiring meningkatnya tantangan keamanan yang ditimbulkan oleh aksi terorisme sebagaimana disoroti oleh peristiwa tragis baru-baru ini di seluruh dunia termasuk di Indonesia seperti kasus bom Bali membuat Australia menggarisbawahi perlunya untuk lebih memperkuat upaya bilateral termasuk dalam kontra terorisme, dengan bekerja sama dalam berbagi informasi intelijen, kerja sama teknis, dan keamanan siber. Indonesia merupakan negara yang paling dekat dengan Australia sekaligus menjadi jalur masuk bagi setiap orang yang ingin menuju Australia sehingga dengan adanya kerjasama ini memudahkan kedua belah pihak terutama mengeksplorasi bidang-bidang utama untuk pekerjaan di masa depan termasuk memperkuat Australia dalam mencegah masuknya terorisme ke negaranya. undang-undang, kerja sama penegakan hukum, melawan pendanaan teroris, melawan ekstremisme kekerasan, berbagi intelijen dan meningkatkan kerja sama dalam pengembangan kapasitas. Disepakati bahwa pejabat senior Indonesia akan mengunjungi Australia dalam waktu dekat untuk membahas cara-cara untuk lebih meningkatkan kerja sama intelijen bilateral untuk melawan ancaman terorisme.
Peningkatan kerja sama dalam mengatasi meningkatnya ancaman yang ditimbulkan oleh pejuang terorisme asing terhadap keamanan domestik dan regional. Kedua negara sepakat untuk lebih memperkuat kerja sama di bidang pendidikan dan pelatihan militer, pertukaran informasi dan analisis, serta kemampuan teknologi, khususnya melalui Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC).Di bidang keamanan cyber kedua negara memperkuat kemampuan keamanan siber masing-masing melalui peningkatan kolaborasi antara Desk Nasional Indonesia untuk Ketahanan Informasi dan Keamanan Siber dan Pusat Keamanan Siber Australia guna mewujudkan visi Traktat Lombok melalui kerja sama yang terkoordinasi dengan baik dan berkelanjutan dalam mengatasi berbagai tantangan keamanan global secara bilateral maupun regional[4].
Deterrence Suaka oleh Australia
Dalam menghadapi permasalahan penanganan pengungsi yang sangat serius. Gelombang pengungsi dan pencari suaka berasal dari negara-negara yang sedang dilanda konflik seperti Suriah, Lybia, Afghanistan, Sudan Selatan, Somalia serta Myanmar meninggalkan negaranya untuk menghindari berkecamuknya konflik yang mengancam nyawa mereka. Seperti negara-negara di dunia saat ini yang harus menanggung beban dengan kehadiran para pengungsi tersebut, Indonesia dan Australia yang relatif cukup jauh dari wilayah konflik di negara Timur Tengah juga menjadi negara yang terkena imbasnya.
Pemerintah Australia memberikan bantuan dan sumber daya kepada pemerintah Indonesia untuk menghalang-halangi pengungsi tersebut guna melanjutkan perjalanan ke Australia. Negara ini berkepentingan terhadap Indonesia untuk “menahan” atau “tempat seleksi” bagi para pengungsi agar tidak mengalir ke Australia. Kebijakan yang dilakukan Australia dalam kerangka kerja sama dengan Indonesia bisa dimaknai sebagai bentuk kebijakan “deterrence”. Dalam kerangka ini maka kebijakan ini dimaksudkan untuk membuat gentar pengungsi datang ke Australia atau mengurungkan niatnya. Ada tujuan yang saling bersimbiosis dalam kerja sama ini.
Kesimpulan
Dalam hubungan bilateral Australia dan Indonesia memiliki tujuan untuk mempererat hubungan kedua negara dalam kerangka kerja sama ekonomi yang lebih komprehensif. Perundingan terkait kerjasama komprehensif ekonomi ini lebih dikenal dengan sebutan IA-CEPA. IA-CEPA mendorong kemajuan bagi kedua negara khususnya ekonomi yang lebih maju di kawasan Asia Pasifik. Hubungan kemitraan ini tidak terlepas dari berbagai macam kepentingan yang dibawa oleh negara sebagai aktor utama dalam kerjasama bilateral dalam upayanya mencapai kepentingan nasionalnya. Australia memiliki berbagai macam kepentingan terkait berbagai isu seperti masalah penyadapan yang pernah terjadi dan juga isu eksekusi mati warga negara Australia yang dijatuhkan vonis mati oleh Indonesia.
Referensi
[1] Nanang Pamuji dan Hanafi Rais, Politik Kerjasama Internasional (Yogyakarta: Institue of International Studies), hlm 37.
[2]Ahmad Mafud, ”Respon Indonesia terhadap Kasus Penyadapan Australia”. Journal of International Relations. Vol.4 No. 2, 2018, hal. 285.
[3]Umrotul Syaidah, Skripsi:”Analisis Kebijakan Normalisasi Australia-Indonesia Setelah Eksekusi Mati Duo Bali Nine tahun 2015” (Surabaya: UINSA, 2020), Hal.20.
[4] Luh Ashari, “UPAYA INDONESIA DALAM MEMBERANTAS TERORISME DI ERA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO”. Jurnal Hubungan Internasional Universitas Udayana. hal 8.